Oleh Lismanto
Direktur Lembaga Studi Justisia
PERTEMUAN Universal Periodic Review
for Indonesia , Dewan HAM PBB
di Jenewa, Swiss, pada 23 Mei 2012, menjadi lahan “pembantaian” terhadap Indonesia
terkait berbagai kasus pelanggaran HAM yang berkecamuk di negeri ini. Kritikan
menyambar bertubi-tubi dari 74 negara bukan hanya dari negara-negara Eropa,
tetapi juga negara-negara timur.
Jepang meminta agar menindak tegas pelanggaran HAM di Indonesia, termasuk pelanggaran kebebasan beragama dengan mengadili secara langsung pelaku pelanggaran tersebut.Pakistan
menyoroti pelanggaran HAM yang dialami jemaat Ahmadiyah. Sementara Singapura,
meminta agar tidak ada diskriminasi ras dan agama di Indonesia . Juga Timor Leste
menyinggung masalah pelanggaran HAM yang dilakukan Indonesia terhadap dirinya.
Jepang meminta agar menindak tegas pelanggaran HAM di Indonesia, termasuk pelanggaran kebebasan beragama dengan mengadili secara langsung pelaku pelanggaran tersebut.
Pertemuan tersebut membuahkan 180
rekomendasi, untuk kemudian 144 rekomendasi akan diadopi pemerintah Indonesia,
36 sisanya akan dibawa pulang ke Indonesia untuk dipertimbangkan dan diputuskan
pada September 2012 saat sesi 21 Dewan HAM PBB.
“Oleh-oleh” 36 rekomendasi tersebut diantaranya, mendesak pemerintah Indonesia untuk meratifikasi sejumlah konfensi internasional seperti Protokol Opsional CEDAW, Konvensi ILO 189 tentang Pekerjaan yang Layak untuk Pekerja Rumah Tangga, dan Konvensi Protokol Opsional Cacat.Indonesia juga harus membuka akses
untuk prosedur khusus PBB pada diskursus kebebasan beragama, masyarakat adat,
kaum minoritas, dan hak atas pangan. Hal ini dapat mengkatalis dan mendorong
penegakan HAM di Indonesia.
Rekomendasi Jenewa juga menuntut agar pemerintahIndonesia segera mengambil tindakan
atas laporan pelanggaran HAM yang dilakukan militer dan polisi, khususnya di
Papua. Berkaitan dengan perlindungan para pembela HAM, rekomendasi menuntut
agar ada perlindungan dari stigmatisasi, intimidasi dan serangan, memastikan
perlindungan kebebasan berekspresi dan protes damai. Juga, meninjau aturan
pasal 106 dan 110 KUHP dan membebaskan orang-orang yang ditahan kerena protes
politik secara damai.
Kebijakan pemerintah yang dirasa mengkriminalisasi dan diskriminatif berdasarkan orientasi seksual juga tak luput dari tuntutan, sehingga semua warga negara bebas dari kekerasan. Bahkan, persoalan HAM yang sifatnya prinsipil seperti sunat perempuan yang diatur dalam peraturan Departemen Kesehatan 1636, tak lepas dari rekomendasi Jenewa untuk mencabutnya demi hak-hak perempuan.
Anomali falsafah bangsa
“Oleh-oleh” 36 rekomendasi tersebut diantaranya, mendesak pemerintah Indonesia untuk meratifikasi sejumlah konfensi internasional seperti Protokol Opsional CEDAW, Konvensi ILO 189 tentang Pekerjaan yang Layak untuk Pekerja Rumah Tangga, dan Konvensi Protokol Opsional Cacat.
Rekomendasi Jenewa juga menuntut agar pemerintah
Kebijakan pemerintah yang dirasa mengkriminalisasi dan diskriminatif berdasarkan orientasi seksual juga tak luput dari tuntutan, sehingga semua warga negara bebas dari kekerasan. Bahkan, persoalan HAM yang sifatnya prinsipil seperti sunat perempuan yang diatur dalam peraturan Departemen Kesehatan 1636, tak lepas dari rekomendasi Jenewa untuk mencabutnya demi hak-hak perempuan.
Anomali falsafah bangsa
Gugatan-gugatan pelanggaran HAM pada konferensi UPR di Jenewa tersebut, semestinya tidak akan bermuara ke
Pun Pancasila mengatur untuk
memperlakukan manusia sesuai harkat dan martabatnya, mengakui persamaan
derajat, persamaan hak, kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membedakan suku,
keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit.
Tapi, berbagai pelanggaran HAM masih saja dibiarkan.
Human Right Watch (HRW) dan Kontras mencatat, jumlah pelanggaran HAM pada 2011-2012 (600 kasus) meningkat lebih dari seratus persen dibandingkan periode 2010-2011 (250) kasus (pikiran-rakyat.com, 15/5). Karena itu, Dewan HAM PBB mendesak Indonesia agar mereformasi di sektor keamanan untuk memastikan setiap kasus pelanggaran HAM diadili, melindungi pembela HAM, menjamin kebebasan masyarakat sipil, pelatihan HAM untuk aparat keamanan, melakukan penyelidikan atas kasus kekerasan pembela HAM, membangun perlindungan dan terobosan diplomatik terhadap korban trafficking, mengokohkan lembaga HAM nasional, meningkatkan implementasi agenda HAM, ratifikasi Protokol Optional Konvensi Menentang Penyiksaan, dan berbagai upaya penegakan HAM lainnya.
Penghianatan Konstitusi
Human Right Watch (HRW) dan Kontras mencatat, jumlah pelanggaran HAM pada 2011-2012 (600 kasus) meningkat lebih dari seratus persen dibandingkan periode 2010-2011 (250) kasus (pikiran-rakyat.com, 15/5). Karena itu, Dewan HAM PBB mendesak Indonesia agar mereformasi di sektor keamanan untuk memastikan setiap kasus pelanggaran HAM diadili, melindungi pembela HAM, menjamin kebebasan masyarakat sipil, pelatihan HAM untuk aparat keamanan, melakukan penyelidikan atas kasus kekerasan pembela HAM, membangun perlindungan dan terobosan diplomatik terhadap korban trafficking, mengokohkan lembaga HAM nasional, meningkatkan implementasi agenda HAM, ratifikasi Protokol Optional Konvensi Menentang Penyiksaan, dan berbagai upaya penegakan HAM lainnya.
Penghianatan Konstitusi
Kritik Jenewa tidak hanya mengarah
pada polemik HAM dan kebebasan beragama, tetapi juga polemik ekonomi sosial
budaya. Bahwa dalam konteks diskriminasi dan berkeadilan, pemenuhan hak
terhadap kelompok rentan seperti anak, manula, penyandang disabilitas,
minoritas seksual dan masyarakat adat, masih lemah.
Realitasnya, pemerintah gagal menjamin hak anak yang “mencuri” sandal jepit oknum pemerintah. Nenek lansia diputus bersalah karena mengambil segelintir kakao, nenek lansia diperkarakan di pengadilan lantaran mengambil biji kapuk randu, buruh rumah tangga dipenjara karena “mencuri” piring majikan, dan berbagai penindasan kaum rentan di Indonesia yang tak jarang mendapat sorotan dunia internasional.
Bukankah konstitusi kita sudah mengatur permasalahan HAM secara komprehensif? UUD 1945 tentang HAM menjamin hak untuk hidup, tidak disiksa, kemerdekaan pikiran dan hati nurani, beragama, tidak diperbudak dan hak diakui sebagai pribadi di hadapan hukum. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk menegakkan HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam undang-undang.
Kalau demikian, kenapa masih ada pelanggaran HAM? Butakah negara ini terhadap konstitusinya sendiri, sehingga harus diingatkan negara-negara lain di Jenewa? Jika konstitusi kita sudah sangat mutakhir dalam menjamin atas tegak berdirinya HAM, kenapaIndonesia
harus ditampar bertubi-tubi di Jenewa terkait pelanggaran HAM? Inilah
penghianatan konstitusi! (*)
Realitasnya, pemerintah gagal menjamin hak anak yang “mencuri” sandal jepit oknum pemerintah. Nenek lansia diputus bersalah karena mengambil segelintir kakao, nenek lansia diperkarakan di pengadilan lantaran mengambil biji kapuk randu, buruh rumah tangga dipenjara karena “mencuri” piring majikan, dan berbagai penindasan kaum rentan di Indonesia yang tak jarang mendapat sorotan dunia internasional.
Bukankah konstitusi kita sudah mengatur permasalahan HAM secara komprehensif? UUD 1945 tentang HAM menjamin hak untuk hidup, tidak disiksa, kemerdekaan pikiran dan hati nurani, beragama, tidak diperbudak dan hak diakui sebagai pribadi di hadapan hukum. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk menegakkan HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam undang-undang.
Kalau demikian, kenapa masih ada pelanggaran HAM? Butakah negara ini terhadap konstitusinya sendiri, sehingga harus diingatkan negara-negara lain di Jenewa? Jika konstitusi kita sudah sangat mutakhir dalam menjamin atas tegak berdirinya HAM, kenapa
0 komentar:
Post a Comment