Oleh Maman S. Mahayana
Sastrawan
Jadi,
sebuah perbandingan dua karya atau lebih yang berasal dari dua negara, termasuk
ke dalam wilayah sastra bandingan. Jika kita membandingkan dua karya yang
berasal dari dua kultur etnik yang berbeda –Sunda dan Jawa, misalnya—, padahal
kedua karya itu berada dalam wilayah negara yang sama, apakah termasuk ke dalam
wilayah sastra bandingan. Pertanyaan yang sama dapat diajukan ketika kita
membandingkan sastra Singapura dengan sastra Taiwan
yang keduanya memakai bahasa Mandarin atau sastra Brunei Darussalam dengan
sastra Malaysia
yang keduanya memakai bahasa Melayu.
Pertanyaan
yang sama tentu saja dapat kita kemukakan lebih panjang lagi. Jadi, jika kita
mengamati karya-karya dari berbagai negara yang menggunakan bahasa yang sama
atau sastra dari berbagai daerah dalam satu negara, maka ternyata bahwa rumusan
sastra bandingan yang menekankan pada perbedaan negara, justru akan mengundang
masalah konseptual. Dalam konteks itulah, perlu kiranya kita mempertanyakan kembali
rumusan-rumusan sastra bandingan yang pernah ada.
Masalah kedua menyangkut praktik sastra bandingan sebagai sebuah kajian. Apakah praktik sastra bandingan hanya sebatas membandingkan dua teks sastra atau lebih jauh dari itu dengan mencantelkan analisis atau interpretasinya pada kebudayaan dan kehidupan kemasyarakatan yang melahirkannya. Jika perbandingannya itu hanya menyangkut dua atau lebih teks sastra yang berbeda, maka hasil perbandingan itu hanya akan sampai pada perbedaan dan persamaan tekstual.
Dari
sana mungkin
kita akan sampai juga pada persoalan reputasi dan penetrasi, dan
pengaruh-mempengaruhi. Jika demikian halnya, maka perbandingan itu akan tetap
berkutat pada persoalan tekstual. Jadi, apakah tujuan sastra bandingan hanya
sampai pada pengungkapan perbedaan dan persamaan dua teks atau lebih.
Oleh
karena itu, patutlah dipertimbangkan tujuan sastra bandingan yang tidak hanya
sampai pada perbandingan dua teks sastra yang berbeda dan mengungkapkan
persamaan dan perbedaan tekstual, tetapi juga coba menelusuri persamaan dan
perbedaannya itu sebagai bagian dari dua produk budaya yang dilahirkan dari dua
kehidupan sosio-budaya yang berbeda.
Sebelum
memasuki pada pembicaraan beberapa karya sastra yang hendak dijadikan contoh
kasus studi sastra bandingan, alangkah baik jika kita memperhatikan dahulu
sejumlah rumusan mengenai sastra bandingan. Dari rumusan itu, serta dengan
mengungkapkan beberapa kasus terjadinya problem konseptual, boleh jadi pula
kita akan memperoleh rumusan yang lebih pas; atau paling sedikit, kita dapat
meninjau sejauh mana rumusan sastra bandingan masih dapat dipertahankan dan
alternatif apa yang perlu dikedepankan.
Dalam
kamus Websters, dikemukakan
bahwa sastra bandingan mempelajari hubungan timbal balik karya sastra dari dua
atau lebih kebudayaan nasional yang biasanya berlainan bahasa, dan terutama
pengaruh karya sastra yang satu terhadap karya sastra lain. Sementara itu,
menurut Rene Wellek dan Austin Warren ada tiga pengertian mengenai sastra
bandingan. Pertama, penelitian sastra lisan, terutama tema cerita rakyat dan
penyebarannya. Kedua, penyelidikan mengenai hubungan antara dua atau lebih
karya sastra, yang menjadi bahan dan objek penyelidikannya, di antaranya, soal
reputasi dan penetrasi, pengaruh dan kemasyhuran karya besar. Ketiga,
penelitian sastra dalam keseluruhan sastra dunia, sastra umum dan sastra
universal.
Sejalan
dengan pendapat Wellek dan Warren ,
Holman mengungkapkan, bahwa sastra bandingan adalah studi sastra yang memiliki
perbedaan bahasa dan asal negara dengan suatu tujuan untuk mengetahui dan
menganalisis hubungan dan pengaruhnya antara karya yang satu terhadap karya
yang lain, serta ciri-ciri yang dimilikinya. Hal senada dikemukakan Remak yang
mengungkapkan sebagai berikut: “Sastra bandingan adalah studi sastra yang
melewati batas-batas suatu negara serta hubungan antara sastra dan bidang
pengetahuan dan kepercayaan lain.”
Ringkasnya,
sastra bandingan adalah perbandingan karya sastra yang satu dengan satu atau
beberapa karya sastra lain, serta perbandingan karya sastra dengan ekspresi
manusia dalam bidang lain. Lebih lanjut Remak menekankan, perbandingan antara
karya sastra dan bidang di luar sastra hanya dapat diterima sebagai sastra
bandingan, jika perbandingan keduanya dilakukan secara sistematis dan bidang di
luar sastra itu dapat dipisahkan dan mempunyai pertalian logis.
Berdasarkan
sejumlah definisi atau pengertian mengenai sastra bandingan, Robert J. Clements
melihat sastra bandingan sebagai studi yang pendekatannya meliputi aspek: (1)
tema/mitos, (2) jenis/bentuk, (3) aliran/zaman, (4) hubungan sastra dengan seni
dan bidang lain, dan (5) sastra sebagai gambaran sejarah kritik dan teori
sastra.
Definisi
yang tertulis dalam kamus Websters,
jelas hanya memberikan pengertian yang sangat umum. Pertama, kamus itu bukan kamus khusus
mengenai kesusastraan. Kedua, kamus itu merupakan kamus yang memuat kosa kata
yang umum digunakan dalam bahasa Inggris. Dengan demikian, terlalu riskan jika
kita melandasi pengertian sastra bandingan hanya dari sebuah entri yang
terdapat dalam kamus umum seperti itu.
Sesungguhpun
begitu, ternyata rumusan yang umum itu dikemukakan pula oleh Wellek dan Warren dan Remak. Dalam
konteks ini, kita masih dapat memperkuat rumusan itu dengan menyinggung
sejumlah kasus dalam kesusastraan beberapa negara. Masalah yang menyangkut dua
atau lebih kebudayaan nasional dan pengaruh karya sastra terhadap karya sastra
lain, misalnya, dalam kesusastraan Indonesia , bukanlah hal yang baru.
Sebutlah kasus Hamka—Manfaluthi dan
Chairil Anwar--Archibald Macleish.
Sebenarnya,
kita masih dapat menyebut kasus serupa yang belum banyak diungkapkan. Novel Angin Musim (1986) karya Mahbub
Djunaedi, misalnya, ternyata mempunyai banyak persamaannya dengan novel Natsume
Soseki, I’m a Cat (1972).
Kedua novel ini menampilkan tokoh kucing yang menceritakan berbagai pengalaman
manusia. Lewat tokoh yang lain, sastrawan Malaysia , Hassan Ibrahim dalam Tikus Rahmat (1963) menampilkan tokoh
tikus berikut dunia pertikusannya. Dalam hal ini, Tikus Rahmat ternyata mempunyai kesamaan dengan Animal Farm (1945) karya George Orwell.
Untuk
kasus-kasus yang disebut terakhir, boleh jadi kita masih dapat memasukkan
persoalannya ke dalam wilayah sastra bandingan. Artinya, lewat studi sastra
bandingan, kita masih dapat menerima bahwa sangat mungkin Mahbub Djunaedi
terpengaruh oleh karya Natsume Soseki. Demikian pula dengan Hassan Ibrahim yang
dari berbagai ulasan mengenai Tikus
Rahmat, dianggap telah menyerap pengaruh Orwell. Tetapi bagaimana
dengan kasus Hamka dan Chairil Anwar yang telah disebutkan tadi, hanya sebatas
pengaruh-mempengaruhi yang masih termasuk wilayah sastra bandingan, atau bentuk
lain dari saduran? Atau, apa yang oleh Sapardi Djoko Damono disebut sebagai pengkhianatan kreatif?
Kembali,
jika perbandingan sejumlah karya yang disebutkan tadi hanya sebatas
perbandingan antarteks, maka hasilnya hanya sampai pada pengungkapan persamaan
dan perbedaan tekstual. Pertanyaan yang lebih substansial: mengapa terjadi
persamaan dan perbedaan, tetap bersembunyi tanpa ada usaha untuk coba
mengungkapkannya. Dan ketika kita coba menemukan jawabannya, maka tidak dapat
lain, teks mesti diperlakukan merepresentasikan konteks sosio-kultural yang
melahirkannya. Maka, perbandingan itu mestinya lebih jauh menyentuh latar
belakang proses kelahiran teks yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan
sosial budaya yang terjadi pada zamannya.
Di
sinilah tujuan sastra bandingan sesyogianya tidak berhenti hanya sebatas
menemukan persamaan dan perbedaan tekstual, melainkan terus menukik pada
berbagai persoalan kemasyarakat dan kebudayaan yang melahirkannya. Sebagai
contoh kasus, berikut akan dibincangkan tiga karya Inggris (Romeo dan Julia karya William
Shakespeare), Jepang (Sonezaki Shinju
karya Chikamatsu Monzaemon), dan cerpen Malaysia (“Uda dan Dara” karya
Usman Awang).
Romeo
dan Julia
karya
William Shakespeare (1564—1616) menurut Trisno Sumardjo yang menerjemahkan
karya itu, pokok ceritanya bersumber dari cerita lisan orang lain. Menurut
anggapan penduduk Verona ,
riwayat ini (Romeo dan Julia,
MSM)) terjadi tahun 1303, dan pada kaum pelancong mereka tunjukkan rumah
keluarga Capulet serta kubu pemakaman asyik masyuk itu. Tahun 1535 diterbitkan
sebuah cerita pendek bernama La Giulietta
oleh Luigi da Porto dari Vicenza, ditulis menurut kisah yang
dituturkan padanya oleh seorang prajurit tua. Pada tahun 1554 dikisahkan oleh
Bandello dalam cerita pendek Itali tentang hikayat Romeo dan Julia.
Dari
situ Pierre Boisteaux membuat cerita Perancis, dan tahun 1567 cerita ini
dimasukkan oleh Painter dalam kumpulan ceritanya bernama Palace of Pleasures yng sering dipakai
oleh Shakespeare. Sebelumnya, dalam tahun 1562 ada diterbitkan sebuah sajak
epis dari tangan Arthur Brooke, namanya “The Tragicall Historye of Romeus and
Juliet, written first in Italian by Bandell, and now in English by Ar. Br.
(Arthur Brooke). Buah tangan Shakespeare lebih mendekati sajak ini daripada
cerita Painter.
Mencermati
kutipan di atas, kita melihat bahwa cerita Romeo dan Julia merupakan cerita
klasik yang sudah dikenal luas masyarakat sebelum Shakespeare mengangkat cerita
itu ke dalam bentuk drama. Artinya adalah bahwa apa yang dilakukan Shakespeare
atau sastrawan lainnya di dunia ini, bukanlah hal yang tabu dilakukan.
Dalam
hal ini, cerita-cerita lisan klasik atau karya-karya agung, tidak hanya
berpotensi melakukan penetrasi dan menyebarkan pengaruhnya, tetapi juga inspiring (mengilhami), sehingga
bermunculan cerita-cerita yang secara tematik mempunyai persamaan.
Pertanyaannya kini: apakah studi sastra bandingan cukup sampai pada kesimpulan
adanya penetrasi dan pengaruh-mempengaruhi serta usaha mengungkapkan persamaan
dan perbedaan secara tekstual atau juga mengungkapna faktor-faktor di luar
teks?
Secara
tematik, Romeo dan Julia
bercerita tentang kisah kasih tak sampai yang menimpa diri pemuda Romeo dan
gadis Julia. Permusuhan antara keluarga besar Montague –sebagai pihak Romeo—dan
keluarga Capulet –sebagai pihak Julia—pada awalnya tidak dapat merintangi
tumbuhnya perasaan cinta kedua sejoli itu. Romeo dan Julia pun bersepakat
mengikat ikrar dalam tali perkawinan yang disahkan oleh pendeta Lorenzo.
Tetapi,
tewasnya kerabat dan sahabat Romeo, Mercutio oleh Tybalt, kerabat keluarga
Capulet membuka kembali permusuhan antarkeluarga itu. Romeo terlibat dalam
perkelahian berdarah. Pedangnya menewaskan Tybalt. Untuk menyelamatkan Romeo
dari hukuman mati, pendeta Lorenzo menyuruhnya pergi dari Verona
dan tinggal di Mantua .
Sementara
itu duka cita Julia atas perpisahan dengan Romeo, dilihat oleh Capulet dan
istrinya sebagai kesedihan atas kematian Tybalt. Maka, ketika datang Paris , pemuda bangsawan
melamar Julia, keluarga Capulet menyambutnya bahagia. Hari perkawinan pun
kemudian ditetapkan.
Julia
tentu saja menolak rencana kedua orang tuanya menjodohkan dengan Paris . Tetapi, kesepakatan
telah dibuat, hari perkawinan telah ditetapkan. Julia tak dapat berbuat
apa-apa. Ia pun mendatangi pendeta Lorenzo. Untuk menyelamatkan kesucian cinta
Romeo—Julia, pendeta Lorenzo merancang rencana. Disuruhlah Julia minum racun
menjelang pesta perkawinan dengan Paris
dilaksanakan. Menurut Lorenzo, jika racun itu diminum, Julia akan terbujur kaku
seperti orang mati. Dua hari kemudian, ia akan siuman kembali. Pada saat
itulah, Romeo datang dan membawa Julia pergi meninggalkan Verona .
Pesta
perkawinan dengan Paris
memang gagal. Julia dianggap mati bunuh diri karena minum racun. Jasadnya
dimasukkan dalam peti mati dan kemudian disimpan di tempat pemakaman. Tetapi
rencana tinggal rencana. Kabar yang diterima Romeo bukanlah skenario yang
disusun pendeta Lorenzo, melainkan kabar tentang kematian Julia. Maka, Romeo
segera datang ke pemakaman tempat Julia disemayamkan. Di sana ,
ia jumpa Paris .
Perkelahian pun tak terhindarkan. Paris
tewas. Romeo yang sudah putus pengharapannya, segera minum racun yang telah
disiapkannya. Ia pun mati.
Beberapa
saat setelah kematian Romeo, Julia siuman. Betapa kaget ketika dilihatnya Paris mati bersimbah darah
dan Romeo terbujur kaku dengan tangan masih memegang botol racun. Menyadari
segalanya telah berakhir, Julia mencabut belati Romeo dan ditusukkannya ke
dadanya sendiri. Julia pun tewas seketika.
Tidak
lama kemudian datanglah pendeta Lorenzo, Pangeran, keluarga Capulet dan
keluarga Montague. Pendeta Lorenzo lalu menjelaskan duduk perkaranya. Tetapi,
semua sudah terlambat. Penyesalan tak berguna lagi. Kedua keluarga –Capulet dan
Montague—yang selama ini bermusuhan, menyadari kekeliruannya. Mereka pun
bersepakat untuk mencipakan perdamaian.
Tragedi
percintaan yang membawa kematian sepasang kekasih, dapat pula kita jumpai dalam
karya Chikamatsu Monzaemon (1653—1724), berjudul Sonezaki Shinju (1703). Hubungan percintaan Tokubei dan
Ohatsu tidak sampai ke pelaminan, karena Tokubei yang menolak dikawinkan dengan
kemenakan pamannya, tidak dapat membayar biaya hidupnya selama tinggal bersama
pamannya, yang juga majikannya.
Kisahnya
dimulai dari perjumpaan Tokubei dan Ohatsu di sebuah kuil. Tokubei bekerja
sebagai karyawan kedai kecap milik pamannya, sedangkan Ohatsu bekerja sebagai
wanita penghibur di kedai Temaya. Kedua insan itu menjalin hubungan cinta
secara sembunyi-sembunyi.
Kegigihan
dan kejujuran Tokubei rupanya mengundang simpati pamannya. Muncullah rencana
menjodohkan Tokubei dengan wanita kemenakan istri pamannya. Untuk melaksanakan
rencana itu, pamannya sudah memberi uang sebanyak satu setengah juta yang
diserahkan kepada ibu tiri Tokubei. Karena cinta Tokubei sudah jatuh pada
Ohatsu, ia menolak rencana pamannya. Penolakan ini tentu saja membuat pamannya
marah. Tokubei diusir dari Osaka .
Ia juga harus mengganti uang yang sudah diterima ibu tirinya, ditambah dengan
uang selama ia tinggal bersama pamannya.
Dengan
berbagai cara, Tokubei berhasil mendapatkan uang sejumlah yang dituntut
pamannya. Tetapi sebelum uang itu diserahkan kepada pamannya, Kuheiji, sahabat
Tokubei, meminjamnya dan akan melunasinya sehari sebelum waktu yang ditetapkan
pamannya. Pada hari yang dijanjikan Kuheiji, Tokubei jumpa dengan sahabatnya
itu. Tetapi Kuheiji malah menuduh Tokubei hendak menipunya. Tokubei pun
dianiaya Kuheiji dan teman-temannya.
Menyadari
bahwa Tokubei mustahil dapat melunasi uang yang dituntut pamannya, ia
menyampaikan masalahnya kepada Ohatsu, kekasihnya. Ohatsu juga menyadari,
perkawinannya (di dunia) dengan Tokubei akan menghadapi kegagalan. Sepasang
kekasih itu akhirnya bersepakat untuk mengakhiri hidup mereka di dunia, agar
mereka bisa melaksanakan pernikahannya di akhirat.
Bersusah
payah Tokubei dan Ohatsu pergi ke hutan Sonezaki. Di sanalah keduanya
mengakhiri hidupnya. Di dunia, sepasang kekasih itu memang gagal melaksanakan
perkawinannya, tetapi dengan cara melakukan shinju,
terbukan jalan lempang untuk melaksanakan perkawinan mereka di akhirat.
Kasih
tak sampai, juga diangkat Usman Awang dalam cerpennya “Uda dan Dara”.
Percintaan Uda dan Dara akhirnya kandas lantaran perbedaan status sosial.
Lamaran Uda yang miskin, ditolak Ibu Dara, karena keadaan keluarga Uda yang
miskin tidak sebanding dengan keadaan keluarga Dara yang kaya.
Penolakan
itu membuat Uda bertekad pergi ke kota
untuk mengubah taraf hidupnya. Tetapi, karena terlalu payah bekerja keras, Uda
jatuh sakit. Ia kembali ke desanya dalam keadaan sakit parah. Kematian pun
segera menjemputnya, tanpa sempat berjumpa dengan Dara untuk yang terakhir
kalinya.
Kematian
Uda tentu saja membuat Dara, tidak hanya merasa sangat bersalah, tetapi juga
membuatnya kehilangan gairah hidup. Ia mengabaikan pertunangannya dengan lelaki
kaya, mengabaikan masa depannya. Dara pun sakit hingga maut menjemputnya. Pesan
terakhirnya, ia dimakamkan di samping kuburan Uda. Dua makan berdampingan: “Uda
dan Dara sebagai pelambang cinta kasih yang teguh dan murni” (hlm. 153).
Dua
naskah drama Romeo dan Julia
dan Sonezaki Shinju serta
sebuah cerpen “Uda dan Dara” memperlihatkan sebuah tema yang sama: kasih tak
sampai. Apakah praktik sastra bandingan sebatas membandingkannya secara tekstual?
Dalam praktik sastra bandingan dikatakan, bahwa perbandingan itu dilakukan
secara sistematik dan punya pertalian yang logis. Dari sana memang kemudian akan tampak adanya
persamaan dan perbedaan.
Kasus
Romeo dan Julia, misalnya, dilatarbelakangi oleh permusuhan keluarga, sedang
dalam Sonezaki Shinju
penyebabnya didasari oleh “kepercayaan” sang paman atas kinerja dan pengabdian
kemenakannya. “Kepercayaan dan penghargaan” itu kemudian direpresentasikan
melalui keinginannya menjodohkan Tokubei dengan kemenanakan istrinya. Jika saja
Tokubei menuruti kehendak pamannya, maka selain ia memperoleh kepercayaan yang
makin besar dari pamannya itu, juga mendapatkan kedai sendiri untuk
mengembangkan usahanya. Jadi, usaha yang dilakukan paman Tokubei sesungguhnya merupakan
bentuk penghargaan dan sekaligus kepercayaan.
Dalam
“Uda dan Dara” persoalan yang mendasarinya adalah perbedaan status sosial.
Keluarga Uda yang miskin, tak layak bersanding dengan keluarga Dara yang kaya.
Demikian juga, keyakinan Ibu Dara yang menafikan keteguhan cinta telah
membutakan mata hatinya. Perkawinan, sebagaimana yang dijalaninya, cukup
bermodalkan keikhlasan menerima, tanpa perlu harus didasari perasaan cinta.
Itulah yang dijalani Ibu Dara yang ternyata juga berjalan baik-baik saja. Ia
lupa, bahwa zaman telah berubah. Apa yang dijalaninya dulu, belum tentu cocok
diterapkan sekarang.
Pertanyaannya
kini: apakah praktik sastra bandingan cukup sampai menemukan persamaan dan
perbedaan tekstual? Di sinilah sesungguhnya tujuan sastra bandingan menjadi
penting jika persoalan persamaan dan perbedaan tekstual itu digunakan sebagai
pintu masuk untuk mengungkapkan problem sosio-kultural. Maka, tujuan sastra
bandingan akan bermuara pada pemahaman budaya berbagai bangsa yang justru
menjadi ruh yang menjiwai karya sastra. Bukankah karya sastra pada hakikatnya
merupakan representasi ruh kebudayaan yang melahirkannya?
Kasus
Romeo dan Julia menunjukkan bahwa persaingan pengaruh antar-keluarga bangsawan
kerap menciptakan korban para pengikutnya. Di sana juga tampak, bahwa posisi gereja begitu
kokoh dan berpengaruh. Bagaimana mungkin Julia begitu percaya pada Pendeta
Lorenzo hingga ia mempunyai keberanian untuk minum racun. Begitu juga adanya
larangan jual-beli racun secara bebas, tidak hanya memperlihatkan maraknya
penyalahgunaan racun pada masa itu, tetapi juga menunjukkan tingkat kemajuan
dunia obat-obatan. Kematian Romeo oleh racun ganas dan “kematian sementara”
Julia oleh racun yang prosesnya bekerja sampai pada waktu tertentu merupakan
bukti mengenai kemajuan dunia obat-obatan di sana ketika itu.
Jika
kasus yang dialami Julia terjadi dalam masyarakat Islam, tentu saja tidak
rasional, karena kematian seseorang akan langsung dikuburkan ke dasar bumi, dan
tidak ditempatkan dalam sebuah peti mati yang disimpan di pekuburan dengan
posisi yang tertentu. Waktu itu, di sana
juga sedang terjadi wabah penyakit lepra yang dianggap sebagai penyakit yang
sangat berbahaya dan menakutkan. Wabah itu pula yang menyebabkan utusan pendeta
Lorenzo gagal menjumpai Romeo dan memutuskan kembali ke Verona . Sejumlah hal itulah yang mestinya
diungkapkan dalam praktik sastra bandingan sebagai bagian penting untuk
memahami kondisi sosial-budaya masyarakat lain dari bangsa yang lain.
Mengenai
kasus bunuh diri Romeo dan Julia menjadi tak penting secara ideologis, karena
fokus masalahnya jatuh pada persoalan kesetiaan dan cinta suci. Keduanya –cinta
dan kesetiaan—menjadi hal yang jauh penting dalam kehidupan ini. Jadi, kematian
Romeo dan Julia adalah simbol ketika cinta suci dihalangi oleh dendam dan
kemarahan. Romeo dan Julia adalah korban, betapa berharganya cinta bagi
manusia.
Makna
kematian Romeo dan Julia tentu saja berbeda dengan kasus kematian yang terjadi
pada diri Tokubei dan Ohatsu. Bunuh diri bersama atas nama cinta (shinju) sesungguhnya dilandasi oleh
sikap budaya dan sistem kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat Jepang pada
waktu itu. Shinju ‘bunuh diri
bersama’ bagi Tokubei dan Ohatsu adalah pilihan yang tidak hanya untuk
mempertahankan martabat dan harga dirinya, tetapi juga representasi
kepercayaannya pada dunia yang lain.
Shinju merupakan pilihan untuk mewujudkan
perkawinan di dunia yang lain. Pandangan atas kehidupan duniawi yang sementara
(carte diem), kesetiaan
sebagai sikap yang akan mengantarkan seseorang mencapai nirwana, dan kematian
sebagai pintu masuk alam keabadian, menunjukkan sikap budaya dan sistem
kepercayaan masyarakat Jepang pada masa itu. Di sana ada pengaruh kuat doktrin Buddha Zen.
Bukankah
apa yang dilakukan Tokubei dan Ohatsu tidak dapat dibenarkan jika tindakan yang
sama dilakukan Uda dan Dara. Kematian Uda dan Dara melalui proses sakit
merupakan pilihan yang paling dapat diterima berdasarkan sistem kepercayaan dan
norma masyarakat yang melahirkan dan berlaku dalam doktrin Islam dan dunia
Melayu. Dengan begitu, citra Uda dan Dara, tetap dalam posisi yang terhormat
sebagai simbol cinta suci dua anak manusia. Uda dan Dara adalah korban ketika
cinta dipandang dari sudut materi dan status sosial.
Demikianlah,
praktik sastra bandingan pada akhirnya akan sampai pada muara persamaan tentang
sifat dasar manusia. Di mana pun, kapan pun, dengan latar belakang kultur,
ideologi atau agama apa pun, manusia tidak akan terlepas dari sifat dasarnya
sebagai manusia. Masalah kemanusiaan pada dasarnya berlaku universal, dan itu
telah diperlihatkan dalam tiga karya yang dibincangkan tadi. Dalam hal ini,
sastra bandingan akan menghasilkan persamaan ketika yang diangkat adalah
persoalan kemanusiaan.
Bahwa
di sana ada
perbedaan, perbedaan itu tidak terlepas dari persoalan kebudayaan dan
kepercayaan yang mendekam dan berada di belakangnya. Praktik sastra bandingan
mestinya mengungkapkan tidak hanya sampai pada persamaan dan perbedaan
tekstual, melainkan juga pada persamaan kemanusiaan universal dan perbedaan
sosio-kultural, ideologi, dan sistem kepercayaan. Agaknya, gagasan ini patut
dipertimbangkan.(*)
0 komentar:
Post a Comment