Oleh Ardian Indra Nurinta, S.I.K.
Pasis Sespim
Pada Rabu, 26 September 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan. Di mana, menghapus syarat persetujuan tertulis dari presiden untuk memeriksa kepala daerah/wakil kepala daerah dalam tahap penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Keputusan tersebut dibacakan dalam sidang pembacaan uji materi (judicial review) Pasal 36 Ayat (1) dan Pasal 36 Ayat (2) UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12/2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Permohonan judicial review
diajukan oleh pemohon yang terdiri Indonesia Corruption Watch (ICW), Feri
Amsari (Dosen Fakultas Hukum Andalas), Teten Masduki (Sekjen TII), dan Zainal
Arifin Mochtar (Direktur Pukat UGM) yang mengajukan permohonan uji materi atas
Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
Dalam putusannya 26 September
2012 tersebut, pada pokoknya MK menyatakan:
- Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 36
ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 36
ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- Pasal 36 ayat (3) UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor
12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun1945 sepanjang tidak
dimaknai ’’tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah memerlukan persetujuan tertulis dari
Presiden dan apabila persetujuan tertulis dimaksud tidak diberikan oleh
Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
diterimanya surat permohonan maka proses penyidikan yang dilanjutkan dengan
penahanan dapat langsung dilakukan’’;
- Pasal 36 ayat (3) UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor
12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai ’’tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah memerlukan persetujuan tertulis dari
Presiden dan apabila persetujuan tertulis dimaksud tidak diberikan oleh
Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
diterimanya surat permohonan maka proses penyidikan yang dilanjutkan dengan
penahanan dapat langsung dilakukan’’;
- Pasal 36 ayat (4) UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor
12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun1945 sepanjang tidak
dimaknai ’’hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan tersebut pada ayat (3)
adalah: tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau
disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara’’.
- Pasal 36 ayat (4) UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor
12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun1945 sepanjang tidak
dimaknai ’’hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan tersebut pada ayat (3)
adalah : tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau disangka
telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau
telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara’’.
Dari Keputusan MK tersebut di
atas, bisa diketahui gugatan pemohon hanya dikabulkan sebagian. Pasal 36 ayat
(3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan sebagai konstitusional bersyarat.
Penahanan terhadap kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah tetap memerlukan persetujuan tertulis dari
presiden. Namun ada pengurangan pembatasan waktu menjadi 30 hari terhitung
sejak surat
permohonan izin untuk penahanan diterima, maka penahanan dalam proses penyidikan
dapat langsung dilakukan. Adapun dalam ketentuan undang-undang sebelumnya, izin
penahanan yang diajukan memperoleh tenggang waktu selama 60 hari.
Langkah brilian dari MK disambut
baik oleh banyak pihak dan menyatakan salut atas keluarnya Keputusan ini. Pihak
ICW mengatakan bahwa keputusan MK tentang judicial review atas Pasal 36 UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan
UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sudah selaras dengan semangat pemberantasan
korupsi.
Namun demikian, tidak serta-merta
aparat penegak hukum dapat langsung menindaklanjuti keputusan MK tersebut.
Jaksa Agung Basrief Arif menilai, meski telah dicabut MK, masih ada ’’hambatan’’
untuk memeriksa para pengusaha daerah bermasalah. Hambatan itu adalah soal
ada tidaknya kerugian Negara. Menurut Basrief, perhitungan kerugian negara
perlu dilakukan karena merupakan unsur pokok yang harus dibuktikan dalam suatu
perkara korupsi. Perhitungan kerugian perlu ada terutama untuk memeriksa kepala
daerah yang jadi tersangka korupsi.
Izin Presiden dalam pemeriksaan
Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah pada tahapan penyelidikan dan
penyidikan Tindak Pidana Korupsi, ternyata menjadi ganjalan yang sudah lama
dirasakan oleh aparat penegak hukum. Hal ini jelas diketahui dari pernyataan
dua institusi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan RI, yang menjadi
landasan MK dalam mengeluarkan Keputusan atas pencabutan izin Presiden yang
termaktub dalam Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
Komisi Pemberantasan Korupsi
mengeluarkan keterangan tertulis dalam judicial review ini, yang pada pokoknya
menerangkan bahwa:
- Pasal 36 UU Pemda berpotensi
menghambat proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, karena
Pasal 36 UU Pemda telah mengatur berbeda dari ketentuan Pasal 46 UU Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang akan berakibat pada
ketidakpastian hukum yang kemudian menghambat penegakan hukum dalam tindak
pidana korupsi;
- Ketentuan Pasal 36 UU Pemda
yang mensyaratkan adanya izin untuk penyelidikan atau penyidikan tindak pidana
korupsi terhadap kepala daerah/wakil kepala daerah justru menjadi kontra
produktif terhadap praktek penegakan hukum khususnya penyelidikan maupun
penyidikan tindak pidana korupsi yang diharapkan lebih optimal, efektif dan
independen;
- Pasal 36 UU Pemda menyebabkan
beberapa kewenangan KPK tidak optimal;
- Pasal 36 UU Pemda berlawanan
dengan asas peradilan cepat sederhana dan biaya ringan, asas persamaan di depan
hukum (equality before the law), asas independensi kekuasaan kehakiman dalam
arti luas. Di mana, dalamnya juga tercakup penyelidik, penyidik, dan penuntut
umum.
Dan hambatan karena izin Presiden
dirasakan pula oleh aparat kejaksaan. Sehingga pihak Kejaksaan Republik Indonesia
mengeluarkan Hasil Kajian Kejaksaan Agung mengenai Izin Pemeriksaan Terhadap
Pejabat Negara Dalam Proses Penegakan Hukum, yang menyatakan:
- Proses penyidikan menjadi
terhambat karena menunggu keluarnya izin pemeriksaan. Bahkan seringkali izin
yang diminta tidak pernah ada jawaban apakah disetujui atau ditolak, sehingga
penanganan perkaranya menjadi tidak jelas dan terkatung-katung penyelesaiannya;
- Terhambatnya proses pemeriksaan
terhadap pejabat Negara, mempengaruhi proses penyidikan terhadap tersangka
lainnya dalam perkara yang melibatkan pejabat Negara, sehingga penyidikannya
menjadi lamban dan terkesan macet;
- Dengan adanya rentang waktu
yang cukup lama sampai keluarnya izin pemeriksaan, tersangka masih bebas
menghirup udara segar, sehingga dikhawatirkan: melarikan diri; menghilangkan
atau merusak barang bukti; mengganti atau merubah alat bukti surat ; dapat mengulangi tindak pidana
korupsi; dapat mempengaruhi para saksi; dan memindahtangankan kekayaan hasil
korupsi kepada orang lain.
Selain itu, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kejaksaan Agung
RI pada tahun 2008 telah
mengeluarkan kajian tentang izin presiden. Yaitu Studi tentang izin pemeriksaan
terhadap pejabat negara dalam proses penegakan hukum, yang berkesimpulan:
- Tujuan diadakannya izin
pemeriksaan terhadap pejabat Negara ialah untuk melindungi harkat dan martabat
pejabat Negara dan lembaga Negara agar diperlakukan dengan hati-hati, cermat,
tidak secara sembrono dan tidak semena-mena, karena pada hakikatnya mereka itu
adalah personifikasi dari Negara.
- Prosedur khusus berupa ’’izin
pemeriksaan’’ tidak sesuai atau bertentangan dengan : Asas peradilan cepat,
sederhana dan biaya ringan (constante justitie); Asas persamaan di depan hukum
(equality before the law); Asas independensi kekuasaan kehakiman;
- Menimbulkan diskriminasi
antarinstitusi penegak hukum dan antarpejabat negara. Prosedur izin pemeriksaan
terhadap pejabat negara menjadi salah satu hambatan dalam proses penegakan
hukum karena menyebabkan penanganan perkara menjadi lamban dan terkesan macet;
Dari keterangan tertulis Komisi
Pemberantasan Korupsi, hasil dari kajian-kajian pihak Kejaksaan RI, selain itu
aspirasi masyarakat yang dikemukakan pemohon menjadi landasan kuat bagi MK
untuk melakukan judicial review atas Pasal 36 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, dan menghasilkan Keputusan MK No. 73/PUU-IX/2011.
Bagaimana halnya dengan anggota
DPR maupun DPRD yang melakukan suatu tindak pidana? Dalam Keputusan MK No.
73/PUU-IX/2011, disebut-sebut mengenai hal itu. Dalam pertimbangan Keputusan MK
dinyatakan bahwa persetujuan tertulis atas penyelidikan, penyidikan dan
penahanan terhadap anggota DPRD provinsi yang memerlukan persetujuan dari
menteri dalam negeri atas nama presiden dan anggota DPRD kabupaten/kota yang
memerlukan persetujuan dari gubernur atas nama Mendagri sebagaimana diatur
dalam Pasal 53 UU a quo dan Pasal 340 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD maka menurut Mahkamah, pembentuk undang-undang perlu melakukan
penyesuaian penyesuaian.
Dan MK sekedar membahas mengenai
izin persetujuan tertulis atas penyelidikan, penyidikan dan penahanan terhadap
anggota DPRD yang termaktub dalam Pasal 340 UU Nomor 27 Tahun 2009 tersebut.
Sebab, tidak termasuk materi dalam judicial review yang diajukan oleh para
pemohon yang harus diputuskan MK. Dan hingga saat ini, belum ada pemohon yang
mengajukan judicial review atas Pasal 53 UU a quo dan Pasal 340 UU Nomor 27
Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD tersebut di atas kepada MK.
Setidaknya MK telah menyatakan
dalam pertimbangan, akan perlunya dan urgennya permasalahan pemeriksaan atas
anggota DPR maupun DPRD yang terhambat oleh izin persetujuan dari Menteri Dalam
Negeri atas nama Presiden. Mengingat banyak sekali dugaan tidak pidana korupsi
yang dilakukan oleh anggota DPR maupun DPRD, sehingga membuat MK membahas pula
mengenai izin pemeriksaan tersebut dan menghimbau pembentuk UU melakukan perubahan.
Meski amat sangat diragukan,
apakah dari pembentuk undang-undang dalam hal ini legislatif, akan merespons
dengan cepat dan baik atas bahasan dari MK mengenai izin pemeriksaan atas
anggota DPRD maupun DPRD tersebut. Tentunya mereka akan berpikir seribu kali
untuk mengeluarkan penyesuaian-penyesuaian yang akan menjebloskan diri sendiri
ke dalam sel penjara.
Jadi, satu-satunya jalan hanyalah
menunggu adanya pihak yang akan mengajukan permohonan judicial review kepada MK
mengenai Pasal 53 UU a quo dan Pasal 340 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD. Sama halnya dengan izin Presiden dalam penyelidikan dan
penyidikan atas kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang telah diajukan
para pemohon. Just wait and see.
Seperti disebutkan dalam
Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi, bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam
masyarakat, perkembangannya tren meningkat dari tahun ke tahun, baik dari
jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara maupun dari segi
kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang
memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Dan parahnya tingkat korupsi di Indonesia
setidaknya dapat dilihat dari persepsi masyarakat internasional dan juga
nasional. Dalam sepuluh tahun terakhir, Transparency International (TI)
menempatkan Indonesia
dalam kelompok Negara-negara terkorup di dunia. Dari Corruption Perception
Index (CPI) untuk 10 (terbersih) hingga 0 (terkorup), Indonesia sejak tahun
2001 hingga 2010 selalu di bawah angka 3 atau masih tergolong Negara paling
korup. Pada tahun 2010 dengan CPI senilai 2.8 Indonesia berada di posisi 110 dari
178 jumlah Negara. Kondisi ini tidak berubah jika dibandingkan pada tahun 2009.
Sedangkan dari persepsi
masyarakat di tingkat nasional, survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei
Indonesia (LSI) pada Oktober 2010 menunjukkan masyarakat umumnya menilai
tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi dan sangat tinggi. Dari 1.824
responden di 33 provinsi, sebanyak 21,9% menyatakan kondisi korupsi Indonesia
sangat tinggi, dan 47,2% menyatakan tinggi. Hanya 14,6% menyatakan korupsi di Indonesia
masuk kategori sedang dan hanya 4,7% yang menyatakan rendah dan 0,4% menyatakan
sangat rendah.
Sehingga, untuk memberantas
korupsi di Indonesia
diperlukan upaya luar biasa dan dukungan atau dorongan banyak pihak termasuk
melibatkan partisipasi masyarakat. Salah satu cara mendorong upaya
pemberantasan korupsi lebih optimal adalah dengan cara mencabut atau menghapus
kebijakan atau aturan yang dinilai menghambat pencapaian pemberantasan korupsi
di Indonesia .
Karena itu, dengan dikeluarkannya
Keputusan MK No. 73/PUU-IX/2011, adalah suatu terobosan besar dalam dunia
penegakan hukum, terutama penegakan hukum dalam Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor). Keputusan MK tersebut sangatlah mendengar dengan bijak ’’keluh
kesah’’ dari aparat penegak hukum yang kesulitan memperjuangkan penegakan hukum
dalam kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi, sangatlah cerdas menangkap aspirasi
masyarakat yang terwakili oleh para pemohon dalam pengajuan judicial review
tentang izin presiden tersebut. Semoga tak lama setelah ini kita masih bisa
menyaksikan terobosan besar yang dilakukan oleh MK menyangkut kasus-kasus
tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh anggota DPR maupun DPRD.
(*)
0 komentar:
Post a Comment