Politik Adi Daya di “Negeri Garuda”




Oleh Mas Irvan

Jika dalam dunia Internasional, kekuatan politik adidaya sangat identik dengan Amerika serikat dan sekutunya, maka dalam kancah perpolitikan Indonesia, kekuatan politik adidaya tersebut sangat identik dengan Pusat (Jakarta) secara khusus dan Jawa (kekuatan politik) secara umum.

Fenomena kekuatan politik adidaya tersebut sebenarnya telah terlihat dalam politik Indonesia, bukan hanya belakangan ini, tetapi sesungguhnya telah terjadi sejak era pra pergerakan kemerdekaan Indonesia. Betapa tidak mulai dari tokoh, pemikiran, simbol, hingga strategi, tehnik dan taktik pergerakan kebangsaan dan kenegaraan, Jakarta secara khusus dan Jawa secara umum adalah entitas politik yang sangat dominan dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Sehingga tidak heran jika kemudian, Indonesia selalu di identikkan dengan Jakarta atau Jawa.

Fenomena kekuatan politik adidaya ini disatu sisi memang mengandung maksud yang positif khususnya ketika kita membicarakan teori integrasi dalam ilmu politik. Bahwa harus ada kekuatan dominan atau sentral yang dijadikan rujukan untuk mengelola sumber daya politik periperi, sehingga disintegrasi bisa diminimalisir.

Tetapi disisi yang lain fenomena lahirnya kekuatan politik adidaya khususnya di era neo hibrida post modernisme seperti sekarang ini justru akan melahirkan perasaan xenophobia bagi sebagian wilayah lain di Indonesia, apalagi jika wilayah tersebut masih jauh terbelakang dari segi ekonomi, pendidikan, dan politik dibanding dengan pusat. Hal inilah yang kadangkala menyulut api pemberontakan sebagai bentuk pengingkaran politik atas kekuatan politik adidaya tersebut.

Dan ini pula yang telah menggerogoti tokoh-tokoh politik dan pemikir Indonesia dari berbagai lintas klan pemikiran di daerah yang tergolong periferi, khususnya setelah terlihat banyaknya kegagalan, keragu-raguan dan kelemahan yang dilakukan baik oleh tokoh, pemikiran, maupun strategi, tehnik dan taktik pusat (Jakarta dan Jawa) dalam menyelesaikan berbagai problem hidup dan kehidupan kebangsaan dan kenegraaan. 

Parahnya kekuatan politik adidaya tersebut membuat para tokoh (pengamat, praktisi, politisi, ulama, dll) , pemikiran dan tindakannya justru semakin mengamini perasaan akan kehebatan kekuatan tersebut. Sehingga perasan tersebut akhirnya menjelma menjadi arogansi, kesombongan dan keangkuhan, yang telah menyelinap dalam elemen-elemen kekuatan masyarakat Jakarta secara khusus dan Jawa secara umum. Perasaan ini bertambah kuat, mengingat hampir semua pimpinan lembaga suprasrtuktur politik (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dipegang oleh orang Jawa. Akhirnya meski sudah diketahui, tetapi kita sebagai masyarakat Indonesia, senantiasa bertanya-tanya tentang apa sebenarnya yang sedang mendominasi atmosfir politik Indonesia.

Jawa adalah sumber dan penjaga institusi Demokrasi di Indonesia. Jakarta dan Jawa di masa transisi politik demokrasi sekarang ini tengah menikmati keadidayaan yang bahkan belum pernah dirasakan oleh emperium terbesar dikawasan nusantara sekalipun pada permulan sejarah (majapahit). Dengan Jumlah penduduk yang sangat besar serta tersebar ke seluruh wilayah Indonesia yang tentunya sangat sinergi dengan sistem politik demokrasi (suara terbanyak), maka kemungkinan besar kekuatan politik kekuasaan mulai dari domain eksekutif, legislatif dan yudikatif masih tetap menjadi nama permanen bagi kekuatan politik Jawa.

Selain itu, Jawa bisa menguasai sistem politik kekuasaan Indonesia dengan kucuran akumulasi modal politik, sosial, budaya dan ekonomi yang jauh lebih besar. Sehingga kadang kala kebudayaan Jawa juga menjadi standar wacana dan laku bagi manusia Indonesia di seluruh pelosok Indonesia.

Politik polaritas Jawa sebagai kekuatan politik (bukan sebagai suku bangsa) dijaman sekarang mengalami metamorfosa yang sangat cepat dibanding dengan jaman sebelumnya. Di zaman dahulu (pra kemerdekaan dan kemerdekaan), meski para tokoh dan pemikirannya sangat berorientasi Java-sentris tetapi tujuan mereka sangat egaliter dalam hal ini mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia dari sabang sampai merauke. Ironisnya dijaman sekarang hal tersebut tidak terjadi, justru politik popularitas kekuatan politik adidaya tersebut benar-benar telanjang yang sangat identik dengan arogansi dan keangkuhan. Ketimpangan pembangunan ekosopop (ekonomi, sosial, politik dan pendidikan) adalah realisasi dari keangkuhan tersebut. Sehingga tidak salah jika kemudian banyak kalangan yang berpendapat bahwa Jakarta dan daerah sekitarnya saja yang selalu dijadikan titik sentral pembangunan, sedangkan daerah lain hanyalah penyuplai pembangunan melalui kekayaan alam daerahnya.

Anehnya logika arogansi dan pandangan sebelah mata terhadap daerah khususnya mengenai pembangunan ini, serta akibat lanjutannya (separatisme dan lain-lain) justru menjadi justifikasi bagi pemerintah pusat untuk menjauhkan keterlibatannya dalam pembangunan dengan mengorbitkan investor asing untuk menggarap sumber daya alam daerah agar peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah bisa mengalami peningkatan. Hal inilah yang dijadikan sebagai jawaban atas ketimpangan yang ada. Bahkan ada upaya dari pemerintah pusat untuk berusaha melakukan penyelarasan dan penyeragaman pola kesejahteraan dan gaya hidup antara pusat dan daerah. Bahwa daerah harus meningkatkan gaya, taraf hidup dan kesejahteraannya agar mencapai gaya, taraf hidup dan kesejahteraan pusat.

Akhirnya tidak heran jika kemudian orang-orang daerah terkesan tengah memainkan peranan sebagai pembantu rumah.  Pertanyaan selanjutnya yang kemudian muncul adalah Apakah daerah-daerah lain di luar Jawa benar-benar telah mengetahui politik cengkraman kekuatan yang dijalankan oleh pusat dan Jawa untuk mencengkram konsep kebangsaan dan kenegaraan? Dan apakah pusat dan Jawa sebagai kekuatan politik benar-benar sadar tentang apa yang telah mereka lakuakan?.

Mengenai pertanyaan pertama, jika kemudian mereka tidak mengetahuinya, maka bagaimana bisa muncul gerakan pemberontakan di daerah. Dan mengenai pertanyaan kedua, jika kemudian mereka sadar dalam melakukan tarian politik kekuatan adidaya, maka bukankah model hubungan entitas politik yang dibangun berdasarkan cengkraman satu kekuatan tidak akan berumur panjang.

Pertanyaan dan Jawaban diatas memang merupakan penolakan realitas, tetapi penolakan yang dimaksud penulis lebih mirip pernyataan filsuf dan orang bijak ketimbang pernyataan para politisi. Proposisi pertanyaan dan jawaban menyandarkan penolakan kepada masa depan dan logika sejarah. Artinya, ini merupakan pernyataan yang mengindikasikan bahwa daerah tidak akan melakukan tindakan apapun untuk menghentikan politik polarisasi ini.

Dengan demikian jelas, bahwa pusat telah memasuki dunia dengan titik tolak keIndonesiaan baru. Indikasi-indikasi titik tolak ini terlihat dengan jelas dan sangat cepat, khususnya setelah keberhasilan politik kekuasaan dilembaga suprastruktur politik dan kepatuhan daerah dinusantara kepadanya serta tidak adanya perlawanan apapun yang layak disebutkan. Hal yang membuat pusat semakin serius untuk mencengkram daerah dan menanam investasi untuk kekuatan politik sebagaimana yang ditunjukkan pada maraknya fenomena terorisme dan separatisme. 

Hanya saja, politik polaritas yang arogan ini akan mengundang permusuhan terselubung dan akan mengorganisir permusuhan tersebut untuk melawannya. Disamping akan mengubah relasi antar entitas politik yang semakin dingin, kelak daerah akan memukulnya dengan pukulan yang lebih dahsyat.

Logika kekuatan otot akan memicu pihak lain merasa dendam serta kebencian dan permusuhan yang sesungguhnya. Jika tidak ada ruang untuk mengartikulasikan perasaan ini, yaitu perasaan menjadi pemikiran, kemudian aksi, maka hasilnya pasti akan negatif, bahkan sangat destruktif. Jika tidak ada pembenahan politik secara total, maka bisa jadi Pusat akan jatuh dari ketinggiannya, sementara tidak akan ada siapapun yang akan mengasihaninya. (*)
Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Post a Comment