Oleh Drs. M. Sofyan
Lubis, S.H.
Praktisi Hukum
BUDAYA hukum sangat erat hubungannya dengan kesadaran hukum dan
diwujudkan dalam bentuk prilaku sebagai cermin kepatuhan hukum di dalam
masyarakat. Di dalam budaya hukum itu dapat dilihat suatu tradisi prilaku
masyarakat kesehariannya yang sejalan dan mencerminkan kehendak undang-undang
atau rambu-rambu hukum yang telah ditetapkan berlaku bagi semua subyek hukum
dalam hidup berbangsa dan bernegara. Di dalam budaya hukum masyarakat dapat
pula dilihat apakah masyarakat kita dalam kesadaran hukumnya sungguh-sungguh
telah menjunjung tinggi hukum sebagai suatu aturan main dalam hidup bersama dan
sebagai dasar dalam menyelesaikan setiap masalah yang timbul dari resiko hidup
bersama.
Namun kalau dilihat secara materiil, yang di dalam hukum pembuktian pidana selalu berpegang pada kebenaran yang senyatanya terjadi yang dalam hal ini disebut dengan kebenaran materiil, ternyata sungguh sulit membangun budaya hukum materiil di negeri ini, hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya kesadaran hukum masyarakat saja tidak cukup membangun budaya hukum di negeri ini, karena kesadaran hukum masyarakat masih bersifat abstrak, belum merupakan bentuk prilaku yang nyata, sekalipun masyarakat kita baik secara instinktif, maupun secara rasional sebenarnya sadar akan perlunya kepatuhan dan penghormatan terhadap hukum yang berlaku.
Pakar Sosiologi Hukum Prof.DR. Satjipto Raharjo, dalam bukunya “Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Penerbit Kompas, 2003”, secara implisit menyimpulkan bahwa, adanya perasaan tidak bersalah, sekalipun putusan judex factie ( PN dan PT) telah menyatakan yang bersangkutan bersalah, merupakan preseden buruk bagi tegaknya budaya hukum di negeri ini”. Pandangan kritis pakar sosiologi hukum itu patut menjadi renungan kita bersama, sebab di dalamnya terkandung pesan yang sangat dalam mengenai perlunya kita mentradisikan budaya hukum di negeri ini, karena tanpa tertanam budaya hukum mustahil dapat ditegakkan hukum yang berkeadilan.
Oleh karenanya sekalipun masyarakat kita sadar terhadap hukum yang berlaku di negaranya, belum tentu masyarakat kita tersebut patuh pada hukum tersebut. Kepatuhan terhadap hukum adalah merupakan hal yang substansial dalam membangun budaya hukum di negeri ini, dan apakah sebenarnya kepatuhan hukum itu?.
Namun kalau dilihat secara materiil, yang di dalam hukum pembuktian pidana selalu berpegang pada kebenaran yang senyatanya terjadi yang dalam hal ini disebut dengan kebenaran materiil, ternyata sungguh sulit membangun budaya hukum materiil di negeri ini, hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya kesadaran hukum masyarakat saja tidak cukup membangun budaya hukum di negeri ini, karena kesadaran hukum masyarakat masih bersifat abstrak, belum merupakan bentuk prilaku yang nyata, sekalipun masyarakat kita baik secara instinktif, maupun secara rasional sebenarnya sadar akan perlunya kepatuhan dan penghormatan terhadap hukum yang berlaku.
Pakar Sosiologi Hukum Prof.DR. Satjipto Raharjo, dalam bukunya “Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Penerbit Kompas, 2003”, secara implisit menyimpulkan bahwa, adanya perasaan tidak bersalah, sekalipun putusan judex factie ( PN dan PT) telah menyatakan yang bersangkutan bersalah, merupakan preseden buruk bagi tegaknya budaya hukum di negeri ini”. Pandangan kritis pakar sosiologi hukum itu patut menjadi renungan kita bersama, sebab di dalamnya terkandung pesan yang sangat dalam mengenai perlunya kita mentradisikan budaya hukum di negeri ini, karena tanpa tertanam budaya hukum mustahil dapat ditegakkan hukum yang berkeadilan.
Oleh karenanya sekalipun masyarakat kita sadar terhadap hukum yang berlaku di negaranya, belum tentu masyarakat kita tersebut patuh pada hukum tersebut. Kepatuhan terhadap hukum adalah merupakan hal yang substansial dalam membangun budaya hukum di negeri ini, dan apakah sebenarnya kepatuhan hukum itu?.
Kepatuhan hukum adalah kesadaran kemanfaatan hukum yang
melahirkan bentuk “kesetiaan” masyarakat terhadap nilai-nilai hukum yang
diberlakukan dalam hidup bersama yang diwujudkan dalam bentuk prilaku yang
senyatanya patuh terhadap nilai-nilai hukum itu sendiri yang dapat dilihat dan
dirasakan oleh sesama anggota masyarakat.
Perlu Penulis tegaskan lagi, bahwa kepatuhan hukum masyarakat pada hakikatnya adalah kesadaran dan kesetiaan masyarakat terhadap hukum yang berlaku sebagai aturan main (rule of the game) sebagai konsekuensi hidup bersama, dimana kesetiaan tersebut diwujudkan dalam bentuk prilaku yang senyatanya patuh pada hukum (antara das sein dengan das sollen dalam fakta adalah sama).
Perlu Penulis tegaskan lagi, bahwa kepatuhan hukum masyarakat pada hakikatnya adalah kesadaran dan kesetiaan masyarakat terhadap hukum yang berlaku sebagai aturan main (rule of the game) sebagai konsekuensi hidup bersama, dimana kesetiaan tersebut diwujudkan dalam bentuk prilaku yang senyatanya patuh pada hukum (antara das sein dengan das sollen dalam fakta adalah sama).
Secara a contra-rio jika didalam masyarakat banyak kita dapatkan
bahwa masyarakat tidak patuh pada hukum hal ini dikarenakan individu dan
masyarakat dihadapkan pada dua tuntutan kesetiaan dimana antara tuntutan
kesetiaan yang satu bertentangan dengan tuntutan kesetiaan lainnya. Misalnya
masyarakat tersebut dihadapkan pada pilihan setia terhadap hukum atau setia
terhadap “kepentingan pribadinya”, setia dan patuh pada atasan yang memerintahkan
berperang dan membunuh atau setia kepada hati nuraninya yang mengatakan bahwa
membunuh itu tidak baik, atau yang lebih umum seperti yang sering terjadi
masyarakat tidak patuh pada aturan lalu-lintas, perbuatan korupsi, perbuatan
anarkisme dan main hakim sendiri (eigen rechting) karena mereka lebih
mendahulukan setia kepada kepentingan pribadinya atau kelompoknya dan
lain-lain.
Apalagi masyarakat sekarang ini menjadi lebih berani tidak patuh pada hukum demi kepentingan pribadi karena hukum dalam penegakannya mereka nilai tidak mempunyai kewibawaan lagi, dimana penegak hukum karena kepentingan pribadinya pula tidak lagi menjadi penegak hukum yang baik, penegakan hukum dirasakan diskriminatif . Sehingga dalam hal ini, kesetiaan terhadap kepentingan pribadi menjadi pangkal tolak mengapa manusia atau masyarakat kita tidak patuh pada hukum.
Apalagi masyarakat sekarang ini menjadi lebih berani tidak patuh pada hukum demi kepentingan pribadi karena hukum dalam penegakannya mereka nilai tidak mempunyai kewibawaan lagi, dimana penegak hukum karena kepentingan pribadinya pula tidak lagi menjadi penegak hukum yang baik, penegakan hukum dirasakan diskriminatif . Sehingga dalam hal ini, kesetiaan terhadap kepentingan pribadi menjadi pangkal tolak mengapa manusia atau masyarakat kita tidak patuh pada hukum.
Jika faktor kesetiaan tidak dapat diandalkan lagi untuk
menjadikan masyarakat patuh pada hukum, maka negara atau pemerintah mau tidak
mau harus membangun dan menjadikan rasa takut masyarakat sebagai faktor yang
membuat masyarakat patuh pada hukum. Wibawa hukum akan dapat dirasakan jika
kita punya komitmen kuat, konsisten dan kontiniu menegakkan hukum tanpa
diskriminatif, siapapun harus tunduk kepada hukum, penegakan hukum tidak boleh
memihak kepada siapapun dan dengan alasan apapun, kecuali kepada kebenaran dan
keadilan itu sendiri. Disitulah letak wibawa hukum dan keadilan hukum.
Namun jika hukum diberlakukan secara diskriminatif, penuh
rekayasa politis, tidak dapat dipercaya lagi sebagai sarana memperjuangkan hak
dan keadilan, maka jangan disalahkan jika masyarakat akan memperjuangkan haknya
melalui jalur kekerasan atau hukum rimba atau kekerasan fisik (eigen rechting).
Dalam banyak fakta sekarang ini Indonesia
telah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan substansi
tujuannya, dan budaya prilaku masyarakat telah memandang hukum ditegakkan
secara diskriminatif dan memihak kepada kepentingan tertentu bagi orang-orang
berduit, dan berkuasa. (*)
0 komentar:
Post a Comment