Oleh Nanang Qosim
Analis Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
MENGAWALI tulisan ini dari sebuah kisah klasik yang sangat inspiratif dari seorang Khalifah bernama Umar bin Khattab. Suatu hari, Amirul Mukminin, Khalifah Umar bin Khattab berjalan-jalan tanpa pengawal untuk menyusuri lorong jalan perkampungan penduduk.
Saat berada di sebuah gang
(tempat perumahan yang kecil), beliau mendengar tangisan anak-anak kecil
di dekat seorang Ibu. Beliau langsung berhenti dan mengamati apa yang terjadi
di rumah tersebut. Belum lama kemudian dengan penuh empati, Khalifah Umar masuk
rumah tersebut dan berbincang-bincang dengan sang ibu. ’’Apa yang terjadi Ibu?’’
tanya sang Khalifah. ’’Kami sekeluarga belum makan dalam beberapa hari
terakhir. Setiap kali anak-anak merasa lapar, ku rebuslah batu-batu itu agar
mereka tenang. Toh, kalau sudah merasa capek menangis, mereka akan berhenti
sendiri,’’ jawab sang ibu dengan terharu.
’’Memangnya kenapa, ibu?’’
Khalifah Umar kembali bertanya. ’’Kami tidak punya sesuatu apa pun untuk
dimakan. Sementara sang khalifah (presiden) tidak peduli dengan kami. Sang
khalifah dan para pejabat negara malah sibuk memikirkan kepentingan mereka. Dan
kami, orang kecil, sering kali diabaikan alias tidak diperhatikan,’’ begitu
keluh kesah sang ibu kepada lelaki yang tidak dia ketahui. Padahal, lelaki itu
adalah Khalifah Umar yang dia maki-maki tadi.
Sekejab mendengar jawaban itu,
Khalifah Umar langsung terhentak. Umar merasa gagal dalam hal menyejahterakan
rakyat setelah mendengar keluh kesah sang ibu tersebut. Kemudian Khalifah Umar
bergegas untuk mengambil sebongkok makanan yang akan langsung dia pikul sendiri
untuk diberikan kepada rakyatnya yang sedang menjerit.
Sesampai di baitul mal (gudang harta
negara), beliau langsung memikul sebongkok makanan itu sendiri. Walau sahabat
(petugas) telah melarang beliau untuk memikulnya, tetap Khalifah Umar tak
bergeming dan tidak mau. Khalifah langsung membawanya di hadapan sang ibu
yang sedang menjerit kelaparan tersebut.
Merasa kaget dengan lelaki
misterius itu, Sang ibu berterima kasih dan lalu bertanya, ’’Sebenarnya kamu
itu siapa, kok baik sekali dengan kami orang miskin?’’. ’’Saya Umar bin
Khattab, ibu,’’ jawab sang khalifah. Mendengar jawaban itu, sang ibu terharu
dan menangis tersedu di hadapan sang khalifah. Tak menyangka, bahwa orang dia
maki-maki itu ternyata adalah sang khalifah. Sang ibu merasa bersalah,
sekaligus juga berterima kasih dan terharu dengan yang dilakukan Khalifah Umar
kepadanya.
Kisah di atas merupakan sebuah
sekelumit kisah ihwal seorang penguasa negara yang begitu peduli dengan nasib
warganya yang telantar; warga yang terus dihimpit krisis tak berkesudahan. Oleh
karena itu, kisah di atas menunjukkan bukti bahwa tanggung jawab negara dalam
mengawal kesejahteraan warga haruslah total. Bukan sekedar membuat kebijakan.
Apalagi membuat undang-udang, peraturan, dan aturan teknis lainnya yang
tidak penting jika tidak diimplementasikan.
Maka dari sinilah, kita (rakyat)
begitu merindukan ketegasan dan keteladanan dari para penguasa negara untuk
turun langsung di wilayah akar rumput (grass root). Dengan turun langsung ke
bawah, penguasa akan tahu secara konkret bahwa nasib warganya ternyata belum
tersentuh secara maksimal. Di samping itu, warga juga akan mendapatkan motivasi
yang tinggi melihat pemimpinnya begitu peduli dengan warga kecil. Kalau ini
dilakukan, tentu terjadi sinergitas yang kukuh dalam mewujudkan terciptanya
bangsa yang makmur, sejahtera, adil, dan sentosa. Atau good governance atau
baldatun thoyyibatun warabbun ghafur.
Demikian juga dalam konteks kisah
tersebut, perlu kiranya merancang gagasan kritis dan strategis bagaimana
tanggungjawab Negara terhadap kondisi kemiskinan masyarakat? Dalam kaidah fiqh
dikenal kaidah menarik yakni ’’tashorrufu al-imam ala al-raiyyah manuthun bi
al-maslahah’’. Bahwa kebijakan Imam (penguasa/pemerintah) terhadap rakyat
harus selalu mengedepankan kemaslahatan rakyat. Dalam kemiskinan, aspek
kemaslahatan rakyat harus menjadi target dan strategi utama dalam setiap
kebijakan yang diambil. Khalifah Umar bin Khattab menjadi teladan bahwa
ketika rakyatnya sedang kelaparan, maka kebijakan taktis yang diambil untuk
kemaslahatan warganya adalah dengan langsung turun mengambil kebijakan, sekaligus
menjadi pengagas utama langsung terjun kepada rakyat.
Kondisi kemiskinan warga Indonesia
jelas masih sangat memprihatinkan. Hal ini di dukung atas berbagai survei yang
masih menunjukkan bahwa di tanah air kemiskinan masih merajalela.
Ditambah dengan berbagai bencana alam yang terus mendera seluruh wilayah Indonesia .
Dari berabagai ragam bencana alam
yang terus menyeruak dalam benak hidup bangsa. Disamping itu, masyarakat di Indonesia
kini sedang mengidap depresi mulai dari tingkat ringan hingga berat. Tentu
depresi itu akan berakibat pada penyakit psikologis yang sangat fatal: bisa
bunuh diri, frustasi, putus orientasi dan ragam bencana psikologis serius
lainnya. Inilah kemiskinan mentalitas yang menambah beban kemiskinan materi.
Kerap kali miskinnya kemiskinan
psikologis (yang dalam hal ini depresi) justru menjadi bencana yang lebih
serius. Karena miskin kemiskinan psikologis seringkali mengarah krisis
keimanan. Dan kalau keimanan sudah krisis, maka seseorang akan kehilangan
kendali hidupnya. Yang terjadi kemudian adalah krisis kemanusiaan yang luar
biasa. Kalau itu terus terjadi, maka kasus korupsi, kolusi, nepotisme, dan
berbagai kejahatan kemanusiaan akan terus hadir di tengah krisis kebangsaan.
Dalam konteks ini, krisis yang bertumpuk-tumpuk akan menjadi krisis besar yang
justru menjadi bencana serius bagi masa depan bangsa.
Kalau kita berefleksi, apa yang
terjadi dalam krisis kemiskinan sebenarnya cermin keretakan diri kita sendiri.
Kalau kembali kepada Alquran, apa yang terjadi sebenarnya karena ulah manusia.
Allah telah menjelaskan bahwa ’’telah nampak kerusakan baik di darat maupun di
laut karena ulah manusia sendiri….’’. Jadi, berbagai krisis kemiskinan dan
krisis lingkungan janganlah menyalahkan alam, apalagi Tuhan. Semuanya karena
ulah manusia sendiri. ’’Hasibu anfusakum qobla an tuhasabu’’, introspeksi dulu
diri kita sebelum diintrospeksi orang lain. Tetapi dalam hal ini, Negara
yang pertama kali melakukan introspeksi serius untuk menata kembali kemiskinan
fisik dan psikologis serta kemiskinan iman. Jangan sampai lalai, apalagi
terjerumus dalam kerusakan (daru al-bawar).
’’Kullukum ra’in. wakullukum
mas’ulun ‘an raiyyatihi’’. Bahwa setiap diri kalian semua pemimpin. Dan setiap
kalian bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Hadis ini menandaskan bahwa
tanggung jawab negara terhadap krisis kemiskinan harus dipenuhi secara serius.
Langkah-langkah yang dapat
dijalankan adalah dengan mengambil kebijakan-kebijakan strategis yang memenuhi
kebutuhan kemiskinan publik. Berbagai instansi dan lembaga birokratis harus
diberdayakan dengan serius. Di samping itu, perlu upaya menggandeng berbagai
eksponen bangsa untuk mengampanyekan hidup bersih dan sehat. Bisa bekerja sama
dengan para agamawan agar terus mengkhotbahkan kepada jamaahnya ihwal urgensi sehat.
Demikian juga lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat
sendiri.
Itulah catatan-catatan reflektif
yang dapat dijadikan bahan renungan berbangsa dan bernegara. Bagaimanapun,
tanggung jawab problem kebangsaan adalah tanggung jawab bersama. Sementara
pemerintah dan para tokoh terkemuka menjadi motivator dan mobilisator dalam
menggerakkan rakyat dalam menyukseskan budaya hidup bersih dan sehat. Di
sinilah cita-cita Islam akan terlaksana. Bahwa akal yang sehat ada pada fisik
yang sehat (al-aqlu al-salim fi aljismi al-salim). (*)
0 komentar:
Post a Comment