Kita Masih Punya Identitas

Oleh Sumasno Hadi
Magister Filsafat UGM
Dosen Prodi Sendratasik FKIP UNLAM Banjarmasin

’’Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca benggala dari pada masa yang akan datang’’ (Ir. Soekarno).

Nasehat Presiden Soekarno pada HUT kemerdekaan tahun 1966 itu sangatlah relevan untuk kini kita direnungkan kembali. Mengingat keadaan masyarakat hari ini dengan segala kebobrokan beserta kerusakan di berbagai dimensi. Ancaman disintegrasi bangsa masih terus membayangi. Dan kasus gerakan separatis di Papua yang tak kunjung selesai adalah contohnya.

Bahkan pertikaian di Sampang  yang berbau SARA, atau aksi teroris di Solo tempo hari semakin mencemaskan rasa persatuan kita sebagai bangsa. Di tengah kusutnya persoalan kebangsaan yang melanda Indonesia kini –di mana sikap apatis  mulai menggejala– menumbuhkan optimisme menjadi sangat penting. Misal dapat dimulai dengan usaha reflektif- komparatif antar bangsa.

Bangsa Jepang dengan kemajuannya yang pesat di bidang teknologi dan pendidikan dapat dijadikan usaha komparatif untuk bercermin. Dalam konteks kemajuan pembangunan sebagaimana prestasi bangsa Jepang, yang menarik adalah strategi pembangunan itu tanpa meninggalkan nilai tradisi dan budayanya. Salah satu tradisi bangsa Jepang yang terpelihara itu adalah nilai chou sebagai ajaran leluhur bangsa Jepang yang mengajarkan kesetiaan.

Merasuknya ajaran chou dalam sanubari manusia-manusia Jepang inilah yang kemudian melahirkan sikap terpuji. Implikasinya dapat dilihat pada tingkat kesetiaan (nasionalisme, patriotisme) manusia Jepang yang sangat tinggi kepada tanah airnya.

Contoh lain lagi dari nilai-etika tradisi Jepang yang dijunjung tinggi adalah nilai seppuku atau budaya malu yang kerap muncul dalam etika politiknya. Mereka, para politisi yang melakukan perbuatan menyimpang akan dengan sukarela dan besar hati meninggalkan jabatannya dan bertanggung jawab atas perbuatannya.

Bahkan, sering terdapat kasus harakiri sebagai jalan bunuh diri untuk mempertahankan martabat. Hal ini semata-mata karena adanya rasa taat, hormat, dan tanggung jawab sebagai pencerminan nilai-nilai bushido atau sikap kesatriaan. Begitulah gambaran bangsa Jepang yang mampu menyeimbangkan nilai-nilai tradisi dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Hasilnya dalam bidang sains dan teknologi, bangsa Jepang melaju dengan begitu cepatnya mengungguli bangsa-bangsa lain.

Berkaca pada kemajuan bangsa Jepang, menjadi penting bagi kita untuk turut mencari terus-menerus suatu jalan pemikiran bagi persoalan aktual bangsa. Mulai dari soal kemerosotan moral generasi muda, gejala korupsi di kalangan pejabat, pertikaian antar golongan, kekisruhan politik, hingga kerusakan sumber daya alam dan lain-lain. Bermacam kerusakan bangsa tersebut gampang sekali ditemukan di media massa kita setiap harinya. Di lain hal, cerminan kemajuan bangsa Jepang nampaknya berpotensi membuka cakrawala pemikiran bangsa Indonesia. Bahwa kita adalah bangsa yang semakin jauh dari nilai-nilai tradisi serta budayanya.

Sungguh bangsa kita yang besar ini tak kurang materi atau bahan ajaran nilai-nilai luhur. Setiap wilayah NKRI yang begitu luasnya memiliki kearifan lokal yang menjadi identitas budaya masyarakatnya. Mulai sepanjang tanah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua dan lainnya, setiap daerah memiliki nilai kearifan budayanya sendiri.

Dari ragam kearifan lokal tersebut lahirlah adat-istiadat, ajaran-ajaran hidup, dan peradaban. Falsafah bangsa yang terdapat dalam kearifan lokal bangsa Indonesia itulah yang perlu digali dan disistematisasikan. Juga perlu diaktualisasikan dalam program-program yang lebih bersifat praktis-strategis, sebagai ruh dan kekuatan bangsa dalam membangun peradaban. Lalu bagaimana peranan Pancasila sebagai dasar filsafat (philosophie grondslag) dan pandangan hidup (way of live) bangsa kita?

Selain bersumber pada kearifan lokal, Pancasila juga diperkuat nilai-nilai agama sebagaimana manusia Indonesia yang mayoritas beragama. Karena secara esensial, nilai budaya memiliki kandungan nilai yang sama dengan agama. Misal prinsip keadilan dan kemanusiaan sebagai konsen dari ajaran Islam. Pancasila merupakan bentuk kompromis para pelopor bangsa dengan tetap menyertakan kandungan nilai agama secara universal.

Hal tersebut dimaklumi karena realitas kehidupan beragama di Indonesia yang sangat beragam. Intinya, Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara sudahlah cukup mapan untuk dijadikan panduan berbangsa dan bernegara. Memang, Pancasila sebagai rujukan dan sumber tertib hukum bangsa Indonesia tidak akan mempunyai peran apa-apa untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan jika tanpa dibarengi usaha nyata bangsa Indonesia sendiri. Dibutuhkan usaha-usaha integratif dari seluruh komponen masyarakat untuk mengaktualisasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa usaha sungguh-sungguh itu maka Pancasila hanyalah kata-kata bijak yang memperindah wacana tanpa menyentuh persoalan.

Setelah berkaca pada kemajuan bangsa Jepang, maka seperti ucapan Bung Karno ’’Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta,’’ –bangsa Indonesia tidak bisa tidak untuk menyongsong masa depannya sendiri dengan jalan kejernihan pandangan, melalui keluhuran identitas bangsa, dan kembali pada arahan nilai-nilai tradisi.

Nilai dalam tradisi itulah yang dijadikan sebagai ruh dan kekuatan untuk mencapai kemajuan peradaban. Tanpa identitas bangsa pada penerapan nilai-nilai budayanya, maka usaha kita untuk mencapai kemajuan hanyalah suatu usaha yang gelap tanpa pegangan atau landasan yang kuat. Bukankah kita masih punya Pancasila sebagai identitas bangsa? Akhirnya patut kiranya untuk bersama kita menyerukan, ’’Sekali lagi, Pancasila!’’ (*)


Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Post a Comment