Oleh Wayan Supadno
Praktisi Pertanian
BERBAGAI pertemuan para pemimpin dunia selalu dan selalu
menyerukan agar kita segera mencari solusi inovasi kreatif terhadap ancaman
menipisnya deposit sumber energi yang berbasis fosil seperti selama ini. Tidak
lain tak bukan harus bersumber dari yang berkelanjutan serta ramah
lingkungan.
Salah satu alternatifnya adalah singkong untuk bioetanol.
Begitu juga dengan perubahan iklim secara ekstrem dan dahsyatnya pertumbuhan
jumlah penduduk dunia. Di mana, imbasnya ke sumber pangan ke depan yang semakin
sulit. Lagi-lagi singkong dijadikan referensi alternatif solusi sebagai sumber
pangan masa depan. Sekaligus, pakan ternak yang pada akhirnya sebagai supporter
pangan kita juga.
Di Indonesia nilai subsidi sudah lebih dari Rp300 triliun
atau lebih 20% jumlah APBN, dan terus cenderung naik. Kondisi ini tentu sangat
berisiko untuk masa depan bangsa. Sebab, akan jadi salah satu penghambat
pembangunan nasional. Artinya siapa pun yang menjadi pemimpin negara ke depan,
mustahil tidak akan menaikkan harga bahan bakar minyak untuk mengurangi subsidi
tersebut. Inilah peluang emas buat singkong sebagai bahan paling potensial jadi
bioetanol.
Begitu juga dengan mengacu pada kondisi riil bahwa di negeri
ini tiap tahun bertambah 5 juta dari 240 juta jiwa jumlah penduduknya saat ini.
Semua itu butuh kepastian makan. Ironisnya, per kapita butuh 139 kg beras per
tahun.
Ini juga menggambarkan betapa berisikonya sumber pangan kita
ke depan dengan diperparah lagi semakin sempitnya lahan pertanian serta ancaman
perubahan iklim ekstrem. Sekali lagi, singkong sebuah alternatif solutif yang
bijak untuk pangan ke depan.
Di Indonesia sudah turun-temurun bahkan seperti menjadi
budaya hidup bersumber dari bertani singkong. Singkong di daerah Lampung
misalnya, memberikan kontribusi 35% dari total 23 juta ton produksi singkong
nasional. Singkong di berbagai daerah telah memberi sangat banyak pendapatan
asli daerah untuk membangun daerahnya. Singkong di Indonesia sudah sangat baik
dengan petani untuk hidup dan menyekolahkan putra-putrinya serta mencukupi
kebutuhan yang lain.
Sayangnya, kita belum berbuat bijak rasional yang
mengimbangi kebaikan singkong kepada daerah beserta para petaninya. Indikasi
cukup banyak. Di antaranya banyak lahan singkong alih fungsi jadi sawit.
Padahal, indeks produktivitasnya lebih baik singkong (estimasi pendapatan sawit
25 ton/ha/tahun x Rp1.500/kg TBS. Artinya Rp37.500.000/tahun. Itu pun bisa
dinikmati setelah umur 5 tahun. Sementara, singkong memiliki potensi 90
ton/ha/tahun. Estimasi pendapatan singkong 90 ton/ha/ tahun x Rp1.000/kg.
Artinya Rp90.000.000/tahun). Beberapa pabrik singkong tutup karena kurang bahan
baku . Petani
singkong selama ini nyaris dimotivasi karena dari tahun ke tahun produksi per
hektarenya menurun. Pada sisi lain pemupukan NPK sintetis terus meningkat. Ini
berakibat pada menipisnya margin profit petani sekaligus menggerus APBN untuk
subsidi pupuk.
Data empiris bahkan menunjukkan kita agar melakukan tindakan
nyata. Yaitu mempertahankan dan mengembangkan singkong untuk menjadi tulang
punggung ekonomi Indonesia
ke depan. Tentu butuh pendekatan teknologi praktis yang berkelanjutan. Tidak
lain tidak bukan, pertama, memperhatikan neraca hara dan pembiakan biopestisida
di lahannya agar ada jaminan kelanjutan.
Kedua, memaksimalkan peran dan fungsi multihormon untuk
melipatgandakan produksi. Ketiga, rekayasa strategi teknis budi daya yang
menimbulkan kebergantungan secara emosi kepada pupuk kimia sintetis.
Sebutir pemikiran untuk kita jabarkan di lapangan, betapa
pentingnya melakukan penyebaran informasi. Bahkan dengan percepatan waktu agar
kemakmuran para petani segera terwujud. Ini sangat penting karena menjadi
sumber kekuatan petani agar lebih setia bertani. Lebih bangga dengan profesi
dan diyakini bahwa profesi bertani sangat laik diwariskan ke putra-putrinya.
Sungguhlah kita sangat bersyukur hidup di negeri ini,
alamnya sangat cocok untuk bertani singkong, bibit tersebar di mana-mana, pupuk
idola petani singkong (HORMAX, ORGANOX, Bio-EXTRIM) tersedia, serta pabrik
singkong di mana-mana. Mari mencintai pertanian dan beragrobisnis yang lebih
logis lagi. (*)
0 komentar:
Post a Comment