Oleh Arif Susanto
Penggiat Komunitas
PERDAMAIAN kini menjadi kata yang semakin mahal harganya.
Baik di lokal, nasional, maupun Internasional. Kata perdamaian seolah
kehilangan peranannya. Perdamaian semakin menjadi seonggok kata yang diabaikan
oleh manusia atas nama ego, ideologi, kekuasaan, hingga demi keuntungan
materi.
Penyerangan Israel
atas negara berdaulat bernama Palestina menjadi perhatian dan keprihatinan
sebagian penduduk dunia. Keprihatinan atas perdamaian yang terkoyak di Jalur
Gaza disampaikan dalam berbagai bentuk. Mulai dari demonstrasi, penggalangan
dana, hingga penggalangan empati melalui jejaring sosial.
Masyarakat ramai-ramai menyuarakan keprihatinannya. Namun
bersama dengan itu, pertikaian dan arogansi tetap mencabik-cabik perdamaian di
tanah Gaza .
Demikian pula bila kita menyaksikan betapa perdamaian di Bumi Ruwa Jurai terus
mengalami cobaan dan tantangan.
Kasus yang cukup sepele, bisa menyulut kerusuhan antardesa
yang menyebabkan melayangnya harta benda dan jiwa. Kerusuhan bernuansa etnis
masih membekas dalam ingatan kita, hingga membuat warga Bali di Kampung
Balinuraga, Lampung Selatan, terpaksa mengungsi demi menyelamatkan jiwa raganya
akibat serangan etnis lainnya. Sementara, kasus pembantaian di Mesuji juga
tidak kalah menggemparkan. Motif persengketaan lahan menjadi alasan tercabiknya
perdamaian.
Perdamaian dan kebersamaan adalah simbol keberadaban sebuah
masyarakat. Masyarakat yang mampu hidup tenteram cenderung mampu mencapai
kesejahteraan dan kemakmuran. Sementara, masyarakat yang sedang berkonflik akan
menghabiskan energinya untuk berkonflik sehingga kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat terabaikan.
Perdamaian juga menjadi pertanda masyarakat beradab yang
memahami dan menaati hukum. Hukum adalah aturan tertulis yang bersumber dari
nilai dan kebudayaan masyarakat yang diformulasikan menjadi seperangkat aturan
untuk mewujudkan ketenteraman dan kepastian hukum. Masyarakat yang taat hukum
akan mengedepankan proses dan prosedur hukum ketika mendapati masalah dalam
kehidupannya.
Mewujudkan masyarakat yang cinta damai tidaklah semudah
membalikkan telapak tangan. Namun, tidak pula serumit memindah gunung atau
membelah samudera. Membangun masyarakat yang cinta damai mesti dilakukan
melalui dua hal. Pertama, keteladanan. Kedua, edukasi/pendidikan.
Keteladanan adalah peran tokoh-tokoh masyarakat. Baik tokoh
agama, politik, maupun adat. Para tokoh inilah
panutan masyarakat dalam menafsirkan sebuah fenomena dan bagaimana
menyikapinya. Bila tokoh masyarakat bijaksana menanggapi suatu masalah,
masyarakat tidak akan mudah terpancing emosi hingga menyulut kerusuhan.
Tokoh adat sebagai penjaga keluhuran dan internalisasi
nilai-nilai budaya yang menjadi fondasi karakter masyarakat, memiliki peran
yang jauh lebih penting. Tokoh adat menjaga karakter masyarakat melalui
berbagai simbol dan kegiatan adat dan kehidupan yang secara langsung menyerap
ke hati dan jiwa masyarakat.
Slogan Sai Bumi Ruwa Jurai misalnya. Slogan kebudayaan yang
mampu secara langsung mencitrakan dan membangun karakter masyarakat langsung
untuk bersatu padu menegaskan perbedaan suku dalam kerja-kerja membangun bumi
Lampung. Dua peran ini mencitrakan dan membangun karakter, adalah dua fungsi
yang penting untuk menumbuhkan sebuah iklim kehidupan masyarakat.
Pendidikan sudah barang tentu mengambil peranan yang sangat
vital. Melalui pendidikan, anak manusia diajarkan untuk mengenali dirinya dan
membentuk dirinya agar menjadi manusia yang bermanfaat. Pendidikan adalah ruang
sempurna untuk membentuk dan membangun karakter manusia dan kemanusiaan.
Pendidikan mesti menembus sekat ekonomi, budaya, politik, agama, dan lainnya
untuk kemudian mentransformasikan nilai-nilai universal sebagai bahan dasar
keharmonisan dan kebersamaan.
Pendidikanlah yang mestinya mencairkan sekat dan tembok
kekakuan dan ke-aku-an berlebih dalam masyarakat. Bukan untuk merobohkannya,
tapi untuk mengharmoniskan semua elemen anak bangsa. Mengharmoniskan bukan pula
menyampuradukan, sehingga masyarakat kehilangan identitas dan kebanggaan diri.
Mengharmoniskan adalah jalan tengah dalam rangka membangun
kebersamaan dan kerja sama dalam hal-hal yang disepakati bersama, dan kemudian
bertoleransi ketika menemukan hal-hal yang menjadi pertentangan. Maka
pendidikan, baik formal dan informal, berkewajiban membangun semangat dan
karakter cinta damai. Sebagai bangsa majemuk yang tersusun atas beribu suku
bangsa, maka sepatutnya semangat dan karakter cinta damai dididik melalui
proses dan metode yang sistematis dan terarah. Filosofi Bhineka Tunggal Ika
wajib tertanam kuat dalam jiwa dan perilaku para pelajar kita.
Pendidikan yang dimaksud bukan semata menyampaikan
teori-teori perdamaian kepada anak-anak, namun lebih kepada membangun nilai
melalui contoh dan aktivitas nyata agar anak-anak secara langsung hadir dan
memahami apa dan bagaimana sesungguhnya perdamaian dan kebersamaan itu. Dalam
teori pendidikan, melakukan sesuatu (learning by doing) akan lebih mendalam
difahami dan dimengerti peserta didik. Kepedulian terhadap teman-teman sebaya
mereka yang menjadi korban kerusuhan atau konflik perlu dibangun.
Bila kita mampu melahirkan generasi yang lebih mencintai
perdamaian di atas ego dan kebencian, maka ini adalah investasi terbesar kita.
Karena di masa depan, kita tidak akan lagi sempat mengurusi konflik sepele
karena persaingan bangsa-bangsa akan semakin kompetitif.
Energi kita tidak boleh dihabiskan dengan berkonflik dengan
sesama kita. Energi-energi itu mesti dikerahkan untuk memproduksi kebaikan dan
karya yang sebesar-besarnya dan seluas-luasnya. Adalah kerugian besar ketika
bangsa dan masyarakat lain berkompetisi dengan karya, kita masih sibuk dengan
konflik dan pertengkaran yang tak berhujung.
Adalah pekerjaan besar untuk membentuk masyarakat agar
memikirkan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan besar. Konflik, kerusuhan,
anarkisme, dan kekisruhan yang terjadi di Bumi Ruwa Jurai tercinta adalah
pekerjaan besar yang harus diselesaikan. Dan pekerjaan besar ini mesti
diselesaikan dengan cara yang sistematis dan cerdas. Tugas menyemai perdamaian
sejak dini adalah keniscayaan dan keharusan agar di masa depan tidak terulang
kembali konflik dan kerusuhan yang terjadi saat ini. Merekalah harapan
masyarakat kita di masa depan yang semakin kompetitif. Maka apa yang dilakukan
anak-anak pelajar dalam kampanye ’’Damailah Lampungku’’ adalah sebuah bentuk
nyata bahwa kesadaran itu telah tumbuh di anak-anak kita. Mereka yang masih
belia telah menyadari hal ini, maka sudah semestinya upaya menyemai perdamaian
ini mesti dilakukan sesegera dan sedini mungkin. Bukan hanya untuk Lampung
kita. Tapi juga untuk perdamaian bangsa dan dunia. (*)
0 komentar:
Post a Comment