Robohnya Benteng Terakhir Pencegahan Korupsi

Oleh Ahmad Arif

Alumnus FS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pemilik RUMAN (Rumoh Baca Aneuk Nanggroe) Banda Aceh

BEBERAPA waktu lalu kita dikejutkan dengan berita dugaan korupsi pengadaan (percetakan) Alquran di Kementerian Agama Republik Indonesia tercinta. Meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum menjelaskan berapa potensi kerugian Negara, tentu berita itu sangat memprihatinkan, mengingat kementerian ini terkait dengan keagamaan yang mengajarkan moral dan etika yang benar. Bukan hanya memprihatinkan, kasus dugaan korupsi itu sangat memalukan sebagai bangsa berpenduduk muslim terbesar di dunia.

Ibarat petir di siang bolong. Kebanyakan kita pasti terhenyak mendengar kabar itu. Bagaimana mungkin kementerian yang berkhidmat menjaga moral bangsa tiba-tiba melakukan korupsi? Bagaimana bisa kementerian yang semestinya menjadi benteng terakhir pencegahan korupsi justru berbuat korup? Apalagi yang dikorup pengadaan kitab suci pula. Kita terkejut karena selama ini kita menganggap mereka yang bekerja dan menjabat di kementerian tersebut merupakan orang-orang yang tak mungkin berbuat korup atas pengadaan Alquran.

Berjamaah Korupsi


Terungkapnya dugaan korupsi dalam proyek pengadaan Alquran menunjukkan kepada publik bahwa korupsi di negeri ini sudah terjadi di segala bidang. Atau dengan ungkapan yang akhir-akhir ini sangat popular di tengah masyarakat luas, korupsi berjamaah atau berjamaah dalam melakukan korupsi. Termasuk bidang yang terkait dengan agama, yang semula sangat tabu bila sampai melakukan korupsi. Pasti di publik ada keterkejutan yang sangat, karena Alquran pun juga berani dikorupsi oleh oknum di negeri ini.
 
Mendengar pengadaan Alquran saja juga dikorupsi, nampaknya semula tak terbayang di kepala. Lalu publik berkata bagaimana pula di bidang yang lain. Pasti juga korupsi. Semula pasti akan terkejut dan mengucap astaghfirullah. Tapi lama-lama menyadari bahwa korupsi itu terjadi bila ada kesempatan dan pas tidak ada iman. Jadi wajar bila bisa terjadi di mana-mana.

Menurut Ray Rangkuti, Direktur Nasional Lingkar Madani (suaramerdeka.com, 23/6/2012), yang juga menambah heboh korupsi pengadaan Alquran adalah, orang-orang di Kementerian Agama khususnya di Ditjen Bimas Islam adalah orang-orang yang lebih paham ajaran agama. Bahkan diduga kuat kasus itu terjadi saat Ditjen Bimas Islam dijabat Nasaruddin Umar yang berlatar belakang Guru Besar Ilmu Alquran. Harus diakui publik memang mempunyai ekspektasi yang lebih besar dalam hal menjaga nilai moral dan kejujuran bagi mereka yang lulusan sekolah agama, daripada yang sekolah umum. Namun juga harus kita pahami bahwa ini terkait pengamalan agama, bukan pengetahuan agama yang dimiliki seseorang.

Kementerian Terkorup

Dugaan korupsi proyek pengadaan Alquran di Kementerian Agama ternyata tak cuma terjadi di 2011. Tahun ini pun rasuah (korupsi) merebak, bahkan angkanya lebih mencengangkan ketimbang tahun kemarin. Tahun kemarin, berdasarkan penelusuran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), korupsi di Kemenag merugikan negara Rp5 miliar. Celakanya, bukannya hilang, tahun ini nilai korupsi di Kemenag--seperti dirilis Indonesia Budget Center--bisa dibilang gila-gilaan: Rp56,4 miliar.

Tak cuma KPK, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun kini dibuat sibuk. BPK didesak mengaudit anggaran proyek di Kemenag. Hasil audit BPK nantinya dijadikan data pembanding terhadap temuan KPK. Celah korupsi dinilai terbuka lebar, sebab tidak ada transparansi dan penunjukan langsung tender.

Saat pertama kali menjabat sebagai Presiden pada tahun 2004, langkah pertama yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah mengingatkan tiga kementerian yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Kementerian Pertahanan untuk berbenah diri. Ketiga kementerian itu disorot Presiden Yudhoyono sebagai kementerian yang "bo-bo", boros dan bocor. Namun harapan itu tidak pernah kunjung bisa dipenuhi. Bahkan yang terjadi praktik korupsinya semakin menjadi-jadi. Korupsi yang sudah terungkap dan tinggal menunggu proses pengadilan adalah korupsi yang dilakukan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Angelina Sondakh dalam berbagai proyek di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (metrotvnews.com, 23/6/2012).

Informasi adanya penyimpangan anggaran di Kementerian Agama bukan barang baru Contoh, pada Agustus 2002, Kejaksaan Agung mendapat laporan dugaan korupsi Rp116 miliar di Dirjen Pembinaan Kelembagaan Islam Kementerian Agama. Contoh lain, pada Maret 2003, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan penyelewengan dana pengadaan buku tahun anggaran 2001/2002 sebesar Rp16 miliar di Kementerian Agama. 

Umat hingga kini juga mempertanyakan penggunaan dana abadi umat (DAU). Kementerian Agama terkesan tidak transparan dalam pemanfaatan dana yang berasal dari bunga penyetoran ongkos naik haji itu. Jangankan umat, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada akhir 2003 mengalami kesulitan mengaudit dana abadi umat yang mencapai Rp5 triliun hingga Rp6 triliun. 

Yang publik tahu bahwa seorang pejabat tinggi Kementerian Agama telah divonis bersalah karena terlibat korupsi terkait dengan pelaksanaan ibadah haji. Tidak tanggung-tanggung yang melakukan korupsi tersebut ialah Menteri Agama Said Agil Al Munawar. Pada Februari 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan Said Agil terbukti menyelewengkan dana biaya penyelenggaraan ibadah haji sebesar Rp35,7 miliar dan dana abadi umat sebesar Rp240,22 miliar antara 2002-2004.

Kini, kita terhenyak karena yang dikorup ialah dana pengadaan kitab suci. Yang suci pun dikorup, apalagi yang profan. Orang bisa berpikiran, Kementerian Agama saja korup, wajarlah bila kementerian lain korup pula. Korupsi adalah korupsi, tidak peduli di kementerian mana itu terjadi. Uang negara adalah uang negara, yang harus dipertanggungjawabkan. Karena itu, korupsi pengadaan Alquran di Kementerian Agama sama seperti perkara korupsi lainnya yang harus dituntaskan.

Usut Tuntas!

Tentunya sekarang kita berharap KPK menuntaskan isu korupsi di Kementerian Agama. KPK harus ungkap tuntas apakah memang ada korupsi pada percetakan Alquran atau informasi itu tidak benar dan selanjutnya dihentikan. Kepastian ini penting bukan hanya untuk menyelamatkan uang negara, tetapi untuk juga membenahi Kementerian Agama. Kita harus mencegah berulangnya praktik korupsi pada percetakan Alquran.

Alquran itu merupakan kitab yang sangat suci, seperti dikatakan Wakil Menteri Agama. Bagaimana mungkin kita menodainya dengan perbuatan yang tercela. Alquran dijadikan tameng untuk memperkaya diri sendiri. Kesalahannya tentu terletak pada manusia yang menjalankan proyek percetakan Alquran. Ini berkaitan dengan sikap dan moral dari para pelaksana. Begitu kuatnya hasrat untuk menjadi kaya, sehingga mereka tutup mata terhadap cara untuk menjadi kaya itu.

Kalau kelak terbukti benar adanya korupsi dalam percetakan Alquran, maka memang korupsi di Indonesia sudah pada tingkat yang darurat. Artinya korupsi sudah sampai ke titik paling dasar karena sudah merasuk sampai ke pihak yang seharusnya jauh dari perbuatan tercela itu. Oleh karena itu kita tidak akan pernah bosan untuk mengatakan bahwa kondisi kita benar-benar gawat. Tanpa ada kesungguhan untuk memerangi korupsi, maka negeri ini tinggal menunggu saja ke jurang kehancuran.

Kita tidak boleh menolelir praktik korupsi yang terjadi dan harus berani memberikan hukuman yang keras. Apalagi kepada mereka yang dengan sengaja menggunakan proyek percetakan Alquran untuk memperkaya diri sendiri. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar tidak bermoral, sehingga percetakan kitab suci pun berani mereka korupsi. Sungguh keterlaluan! (*)



Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Post a Comment