Oleh
Akhmad Sadad
Penulis
dan Pemerhati Budaya
DI masa yang serba modern saat
ini, apakah segala hal yang mengandung masa lalu, seperti halnya seni budaya
masih diperlukan? Pertanyaan tersebut patut direnungkan. Tidak mudah menjawab
pertanyaan yang demikian. Karena masih perlu ulasan yang berakhir dengan
kesimpulan dan kenyataan.
Di satu sisi, masyarakat
sekarang tentu harus menyesuaikan diri dengan kondisi zaman yang senantiasa,
bahkan begitu pesat pergerakannya. Kemajuan di banyak sektor terkadang menuntut
adanya penyesuaian agar tidak dikatakan ketinggalan zaman. Sementara di lain
sisi, masyarakat tidak lahir dari budaya yang kosong.
Walaupun demikian tidak dapat
pula dibantah bahwa kearifan tradisi kerap pula diabaikan masyarakat modern.
Sepertinya, mereka sudah tidak sempat lagi dan terkesan asyik sendiri dengan
kondisi saat ini. Seni budaya daerah seakan sudah bukan lagi sebuah kebutuhan
maupun hiburan.
Zaman berubah, pola pikir hidup
juga berubah. Segala hal yang sangkut-menyangkut dengan seni budaya daerah
dianggap sekedipan mata. Padahal, ibarat pakaian, tentu budaya masa lampau
tidak serta merta harus dikenakan secara terus-menerus. Dengan kata lain,
tradisi harus tetap dilestarikan.
Diumpamakan pakaian, seni
budaya menjadi gaun yang tetap tergantung di lemari kemodernan, yang dapat
dipakai sekali sewaktu-waktu. Terkadang, ada kalanya tak lekang bersama masa.
Namun, andai tiba masanya ‘mengenakan baju’ seni budaya itu sudah barang tentu
tidak sekadar bertengger di tubuh, tetapi ruhnya menyusup juga sampai ke jiwa
pemakainya. Inilah sebenarnya hakikat pelestarian.
Melestarikan seni budaya daerah
memang tidak mudah. Tidak hanya kesadaran dari si pemilik tradisi itu sendiri,
tetapi juga bagaimana suatu seni budaya itu menjadi bagian dari masyarakat
untuk menggali, mengembangkan dan melestarikannya. Dewasa ini, ada beragam seni
budaya daerah yang justru kurang berkembang dan lestari serta terancam
kepunahan.
Warisan leluhur bangsa yang
menjadi identitas daerah tersebut lambat laun terpinggirkan oleh arus
modernisasi. Sebagai negara yang
memiliki beraneka ragam seni budaya, yang sekaligus merupakan ciri khas dan
aset, sudah banyak sekali jenis-jenis kebudayaan dimiliki negeri ini terlupakan
dari ingatan generasi bangsa.
Saat ini, sudah tidak banyak
lagi orang yang perduli dengan keberadaan seni budaya daerah. Sehingga,
keinginan untuk melestarikan dan mengembangkan budaya daerahnya sudah kecil
sekali kemungkinannya dalam benak mereka. Tidak seharusnya juga kita melupakan
dikarenakan perkembangan zaman dan pengaruh dari budaya luar yang memang sangat
berbeda jauh dengan akar budaya yang sebelumnya tertanam.
Jika kita menengok ke masa
lalu, dimana kebudayaan bangsa ini yang sangat dibanggakan, dicintai serta
apresiasi mereka, dalam hal ini masyarakat dan penggerak seni, seiring
berdampingan demi terlaksanannya pementasan budaya, sangat membanggakan sekali.
Jauh berbeda dengan keberadaannya sekarang yang semakin terpojok dan
tertinggal.
Namun, mana kala seni budaya
bangsa ini, seperti Reog Ponorogo,
Wayang Kulit, Batik, Rasa Sayange (lagu), Tari Pendet dan sebagainya di
caplok negara tetangga Malaysia, kita seakan ‘kebakaran jenggot’. Tak terima. Tapi
pada kenyataannya generasi penerus seakan enggan peduli terhadap pelestarian
warisan lelulur itu. Baru tersadar dan peduli ketika bangsa lain mengakui kalau
seni budaya tersebut juga milik mereka.
Tentu, semua tak ingin seni
budaya turun temurun ini akan hilang diterjang badai zaman yang tidak menentu
bahkan diakui atau di klaim bangsa lain sebagai miliknya. Kita harus bangga
mewarisi dan mempertahankannya sehingga menjadi tameng kepada bangsa lain bahwa
bangsa ini memang layak untuk diperhitungkan dalam menjaga warisan leluhurnya.
(*)
0 komentar:
Post a Comment