Oleh
Ardi Winangun
Penggiat Komunitas Penulis Lapak Isu (Koplaks)
Penggiat Komunitas Penulis Lapak Isu (Koplaks)
Ulah Badan Keamanan Nasional Amerika
Serikat yang diduga kuat menyadap jutaan data komunikasi warga negara dunia
termasuk para pemimpin dunia, seperti Kanselir Jerman Angela Merkel, mengundang
kecaman dan protes dari banyak pihak, baik secara resmi atau sumpah serapah
melalui media massa. Apa yang dilakukan oleh badan keamanan itu disebut telah
melanggar undang-undang sebuah negara dan privasi seseorang.
Dengan adanya dugaan penyadapan tersebut menunjukkan sebuah bukti bahwa perang intelijen belum usai meski perdamaian antarnegara sudah dijalin. Adanya dugaan penyadapan tersebut menunjukkan bahwa Amerika Serikat tak peduli kawan atau lawan semuanya harus dimata-matai.
Dalam Perang Dunia I dan Perang Dunia II, penyadapan yang dilakukan oleh satu pihak kepada pihak lain lebih pada fokus kekuatan alutsista dan rencana pergerakan pasukan yang hendak direncanakan musuh. Sebab alat komunikasi pada masa-masa itu belum secanggih saat ini maka mereka melakukan penyadapan melalui orang (mata-mata). Untuk lebih mengefektifkan penjaringan informasi maka mata-mata yang disebar kepada musuh adalah para perempuan. Kedekatan antara mata-mata perempuan itu dengan elit militer membuat rahasia alutsista dan rencana pergerakkan pasukan diketahui sehingga rencana serangan yang dilakukan menjadi gagal total.
Menjaring informasi dengan menyebar mata-mata sekarang dirasa terlalu berbahaya. Bila sang mata-mata tertangkap, penjara seumur hidup atau hukuman mati akan menimpa sang mata-mata. Amerika Serikat masih baik hati ketika mata-mata Rusia, Anna Chapman, tertangkap di New York. Bila bukan seorang mata-mata dari Rusia, perempuan cantik itu akan dihukum penjara seumur hidup atau hukuman mati. Mungkin di sini ada perjanjian antara Amerika Serikat dan Rusia bila di antara mata-mata mereka tertangkap harus dikembalikan ke negara asal.
Untuk mengurangi risiko mata-mata tertangkap maka negara yang melakukan tindakan mata-mata sekarang menggunakan teknologi komunikasi yang super canggih, lewat jaringan telepon, internet, media sosial, pesawat tanpa awak, dan satelit di ruang angkasa. Amerika Serikat menggunakan teknologi-teknologi itu mengorek informasi dari banyak orang di dunia. Dari informasi yang dihimpun maka Amerika Serikat bisa memetakan masalah dan selanjutnya mengambil tindakan yang dianggap penting.
Memata-matai pihak lawan untuk diketahui kekuatan militernya itu program mata-mata klasik. Sekarang di tengah perjanjian damai banyak pihak, mematamati bukan hanya pada lingkup militer namun juga pada lingkup yang lebih luas, seperti lingkup ekonomi dan pencegahan terorisme.
Di tengah kelesuan dan keterpurukan ekonomi, Amerika Serikat tentu berada pada bayang-bayang yang akan membawa negaranya pada posisi yang tidak super lagi. Sambil mengeluarkan berbagai kebijakan dalam negeri untuk membangkitkan perekonomiannya, Amerika Serikat mematamatai sikap dari para kepala pemerintahan negara-negara Eropa, Jerman khususnya.
Sebagai negara yang mempunyai kekuatan ekonomi di Eropa, Jerman, tentu perlu dipantau dan dimatamatai. Telepon Angela Merkel dan pemerintahan negeri panzer itu perlu disadap sebab banyak informasi dan kunci sukses Jerman dalam membangun kekuatan ekonominya di Eropa. Dengan informasi yang disadap itulah Amerika Serikat bisa mendapat hal-hal yang penting untuk kepentingannya.
Bagi yang disadap tentu hal demikian sangat merugikan sebab rahasia negara dan rahasia pribadi akan terkuak. Rahasia negara tentu merupakan dokumen-dokumen yang penting sebagai arah kebijakan negara dan rahasia pribadi tentu ada masalah-masalah khusus, dan semuanya itu tak boleh diketahui secara luas apalagi negara lain.
Dengan terungkapnya kasus penyadapan itu menunjukkan bahwa perang intelijen belum usai. Adanya dugaan bahwa perang intelijen usai seiring berakhirnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur tidak terbukti. Perang intelijen masih akan terus berdenyut ketika ada rivalitas dan keinginan untuk menguasai dunia. Pihak yang dipantau tidak hanya pihak lawan namun juga kawan. Cakupan perang intelijen ini tidak hanya pada dunia militer, seperti yang terjadi pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II, namun juga pada lingkup ekonomi, rencana terorisme, dan lingkup lainnya.
Penggunaan teknologi canggih untuk melakukan penyadapan atau mata-mata merupakan sebuah cara yang efektif dan efisien dan tidak menimbulkan resiko tertangkapnya mata-mata. Apa yang dilakukan Amerika Serikat itu bisa jadi mengingatkan dan membangunkan tidur para pemimpin dunia bahwa mereka secara tidak sadar disadap pihak lain. Bagi Jerman, apa yang dilakukan Amerika Serikat itu sebuah pengkhianatan sebab selama ini Jerman relatif mendukung apa yang diiinginkan Amerika Serikat dalam kancah politik internasional.
Bila mereka yang disadap tidak sadar, itu menunjukkan adanya kebodohan dalam dunia intelijen mereka sebab mereka tak bisa menangkap adanya sinyal-sinyal tindakan mata-mata pihak lain. Tak hanya bodohnya dunia intelijen negara yang disadap namun juga bisa dikarenakan alat komunikasi yang dipakai kepala negara tersebut sudah kuno atau usang. Bila alat komunikasi tersebut canggih tentu bila ada sinyal atau tanda-tanda gelombang lain yang masuk maka sinyal itu akan terdeteksi. Mungkin alat komunikasi yang digunakan Angela Merkel atau pemerintahan Jerman itu kuno sehingga tak mampu membaca gelombang masuk dari pihak lain.
Adanya aksi penyadapan yang dilakukan oleh Amerika Serikat, masalahnya bukan hanya pada teknologi komunikasi namun bisa juga karena para pemimpin dunia ‘lugu’. Lugu? Ya karena mereka terlalu percaya pada undang-undang, baik undang-undang dalam negeri maupun undang-undang dunia internasional. Dengan mengacu pada undang-undang bahwa dilarang menyadap itulah maka para pemimpin dunia merasa aman-aman saja ketika berkomunikasi. Dalam perang, termasuk perang intelijen, semua aturan yang ada dianggap tidak ada. Amerika Serikat dalam posisi yang demikian, ia adalah pihak yang sering melanggar aturan negara lain atau dunia internasional. (*)
Dengan adanya dugaan penyadapan tersebut menunjukkan sebuah bukti bahwa perang intelijen belum usai meski perdamaian antarnegara sudah dijalin. Adanya dugaan penyadapan tersebut menunjukkan bahwa Amerika Serikat tak peduli kawan atau lawan semuanya harus dimata-matai.
Dalam Perang Dunia I dan Perang Dunia II, penyadapan yang dilakukan oleh satu pihak kepada pihak lain lebih pada fokus kekuatan alutsista dan rencana pergerakan pasukan yang hendak direncanakan musuh. Sebab alat komunikasi pada masa-masa itu belum secanggih saat ini maka mereka melakukan penyadapan melalui orang (mata-mata). Untuk lebih mengefektifkan penjaringan informasi maka mata-mata yang disebar kepada musuh adalah para perempuan. Kedekatan antara mata-mata perempuan itu dengan elit militer membuat rahasia alutsista dan rencana pergerakkan pasukan diketahui sehingga rencana serangan yang dilakukan menjadi gagal total.
Menjaring informasi dengan menyebar mata-mata sekarang dirasa terlalu berbahaya. Bila sang mata-mata tertangkap, penjara seumur hidup atau hukuman mati akan menimpa sang mata-mata. Amerika Serikat masih baik hati ketika mata-mata Rusia, Anna Chapman, tertangkap di New York. Bila bukan seorang mata-mata dari Rusia, perempuan cantik itu akan dihukum penjara seumur hidup atau hukuman mati. Mungkin di sini ada perjanjian antara Amerika Serikat dan Rusia bila di antara mata-mata mereka tertangkap harus dikembalikan ke negara asal.
Untuk mengurangi risiko mata-mata tertangkap maka negara yang melakukan tindakan mata-mata sekarang menggunakan teknologi komunikasi yang super canggih, lewat jaringan telepon, internet, media sosial, pesawat tanpa awak, dan satelit di ruang angkasa. Amerika Serikat menggunakan teknologi-teknologi itu mengorek informasi dari banyak orang di dunia. Dari informasi yang dihimpun maka Amerika Serikat bisa memetakan masalah dan selanjutnya mengambil tindakan yang dianggap penting.
Memata-matai pihak lawan untuk diketahui kekuatan militernya itu program mata-mata klasik. Sekarang di tengah perjanjian damai banyak pihak, mematamati bukan hanya pada lingkup militer namun juga pada lingkup yang lebih luas, seperti lingkup ekonomi dan pencegahan terorisme.
Di tengah kelesuan dan keterpurukan ekonomi, Amerika Serikat tentu berada pada bayang-bayang yang akan membawa negaranya pada posisi yang tidak super lagi. Sambil mengeluarkan berbagai kebijakan dalam negeri untuk membangkitkan perekonomiannya, Amerika Serikat mematamatai sikap dari para kepala pemerintahan negara-negara Eropa, Jerman khususnya.
Sebagai negara yang mempunyai kekuatan ekonomi di Eropa, Jerman, tentu perlu dipantau dan dimatamatai. Telepon Angela Merkel dan pemerintahan negeri panzer itu perlu disadap sebab banyak informasi dan kunci sukses Jerman dalam membangun kekuatan ekonominya di Eropa. Dengan informasi yang disadap itulah Amerika Serikat bisa mendapat hal-hal yang penting untuk kepentingannya.
Bagi yang disadap tentu hal demikian sangat merugikan sebab rahasia negara dan rahasia pribadi akan terkuak. Rahasia negara tentu merupakan dokumen-dokumen yang penting sebagai arah kebijakan negara dan rahasia pribadi tentu ada masalah-masalah khusus, dan semuanya itu tak boleh diketahui secara luas apalagi negara lain.
Dengan terungkapnya kasus penyadapan itu menunjukkan bahwa perang intelijen belum usai. Adanya dugaan bahwa perang intelijen usai seiring berakhirnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur tidak terbukti. Perang intelijen masih akan terus berdenyut ketika ada rivalitas dan keinginan untuk menguasai dunia. Pihak yang dipantau tidak hanya pihak lawan namun juga kawan. Cakupan perang intelijen ini tidak hanya pada dunia militer, seperti yang terjadi pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II, namun juga pada lingkup ekonomi, rencana terorisme, dan lingkup lainnya.
Penggunaan teknologi canggih untuk melakukan penyadapan atau mata-mata merupakan sebuah cara yang efektif dan efisien dan tidak menimbulkan resiko tertangkapnya mata-mata. Apa yang dilakukan Amerika Serikat itu bisa jadi mengingatkan dan membangunkan tidur para pemimpin dunia bahwa mereka secara tidak sadar disadap pihak lain. Bagi Jerman, apa yang dilakukan Amerika Serikat itu sebuah pengkhianatan sebab selama ini Jerman relatif mendukung apa yang diiinginkan Amerika Serikat dalam kancah politik internasional.
Bila mereka yang disadap tidak sadar, itu menunjukkan adanya kebodohan dalam dunia intelijen mereka sebab mereka tak bisa menangkap adanya sinyal-sinyal tindakan mata-mata pihak lain. Tak hanya bodohnya dunia intelijen negara yang disadap namun juga bisa dikarenakan alat komunikasi yang dipakai kepala negara tersebut sudah kuno atau usang. Bila alat komunikasi tersebut canggih tentu bila ada sinyal atau tanda-tanda gelombang lain yang masuk maka sinyal itu akan terdeteksi. Mungkin alat komunikasi yang digunakan Angela Merkel atau pemerintahan Jerman itu kuno sehingga tak mampu membaca gelombang masuk dari pihak lain.
Adanya aksi penyadapan yang dilakukan oleh Amerika Serikat, masalahnya bukan hanya pada teknologi komunikasi namun bisa juga karena para pemimpin dunia ‘lugu’. Lugu? Ya karena mereka terlalu percaya pada undang-undang, baik undang-undang dalam negeri maupun undang-undang dunia internasional. Dengan mengacu pada undang-undang bahwa dilarang menyadap itulah maka para pemimpin dunia merasa aman-aman saja ketika berkomunikasi. Dalam perang, termasuk perang intelijen, semua aturan yang ada dianggap tidak ada. Amerika Serikat dalam posisi yang demikian, ia adalah pihak yang sering melanggar aturan negara lain atau dunia internasional. (*)
0 komentar:
Post a Comment