Oleh
Aunur Rofiq
Ketua DPP PPP Bidang Ekonomi dan Kewirausahaan/
Pebisnis Sektor Pertambangan dan Perkebunan
Ketua DPP PPP Bidang Ekonomi dan Kewirausahaan/
Pebisnis Sektor Pertambangan dan Perkebunan
Rencana pengurangan dana stumulus
oleh the Fed yang tidak sesuai dugaan semula dan fokus pemerintah RI untuk
mengurangi defisit transaksi berjalan menarik dana asing kembali masuk ke pasar
modal Indonesia.
Data transaksi saham di bursa Efek Indonesia sejak awal September 2013 memperlihatkan net buying atau pembelian bersih oleh pemodal asing sekira Rp1,78 triliun. Selain itu, Rp12,4 triliun, dari Rp273,2 triliun awal Januari 2013 menjadi Rp285,6 triliun per 13 September lalu.
Pelaku pasar memperkirakan volatilitas Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diprediksi makin tinggi merespons hasil pertemuan Komisi Pasar Bebas Federal atau pertemuan Dewan Gubenur Bank Sentral AS.
Sejak kebijakan stimulus moneter tahap I, II, dan III di AS pada 2009 - 2012, banyak dana mengalir ke negara-negara berkembang. Kebijakan quantitative easing yang dirilis bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve, itu, kemudian membuka arus investasi asing hingga membanjiri Indonesia. Dana ini secara perlahan mengangkat rasio kredit terhadap produk domestik bruto (PDB) kembali ke titik tertingginya pra-krisis 1997. Hal itu membuat pasar modal dan pasar surat utang negara (SUN) menjadi begitu aktif.
Bank Indonesia memproyeksi nilai tukar rupiah akan stabil dalam jangka pendek setelah The Fed membatalkan rencana pengurangan (tapering off). Meski demikian, Indonesia harus tetap waspada terhadap tekanan nilai tukar terutama akibat faktor internal, yakni melebarnya defisit transaksi berjalan serta tekanan inflasi.
Nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dolar Rate (Jisdor) menguat 214 poin menjadi Rp11.278/USD setelah Gubernur The Fed Ben Bernanke mengumumkan penundaan tapering off, isu global utama yang memberikan persepsi negatif terhadap nilai tukar negara berkembang dalam beberapa pekan terakhir.
Adapun faktor internal yang memberikan kontribusi terhadap pelemahan rupiah adalah melebarnya defisit transaksi berjalan hingga menyentuh 4,4% dari Produk Domestik Bruto pada triwulan II lalu. Faktor lain adalah inflasi yang secara tahunan menyentuh 8,79% pada akhir Agustus lalu, setelah penaikan harga BBM bersubsidi.
Sebelumnya, untuk menjaga stabilitas nilai tukar BI telah menaikkan BI rate sebesar 7,25%, yang mengakhiri masa masa suku bunga perbankan rendah, yakni satu angka atau di bawah 10%. Kenaikan BI rate juga dalam rangka merespons rencana pengurangan stimulus moneter (quantitative easing) di Amerika Serikat.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menegaskan BI akan respons rencana pengurangan stimulus moneter di Amerika Serikat dengan menjaga stabilitas nilai tukar. BI juga akan meyakinkan bahwa yang terjadi lebih merupakan sentimen dibandingkan fundamental ekonomi.
Sejak muncul isu akan adanya tapering off, telah mendorong para pengelola dana mereposisi asetnya. Mereka mengubah strategi penempatan dana dengan keluar dulu dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, kemudian mengatur kembali komposisi aset. Di Indonesia, hal tersebut berdampak pada nilai tukar. Namun demikian, pergerakan nilai tukar rupiah masih sesuai dengan kondisi di kawasan.
Tekanan terhadap nilai tukar rupiah bukan hanya masalah pengurangan stimulus moneter di AS yang merupakan faktor eksternal. Defisit neraca pembayaran dan defisit neraca perdagangan, turut memberikan andil terhadap tekanan nilai tukar.
Selain isu tentang rencana pengurangan stimulus moneter di AS yang sedikit banyak akan berdampak pada pasar pasar keuangan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, perekonomin Indonesia juga perlu mewaspadai perlambatan ekonomi di China.
China, merupakan salah satu pasar ekspor Indonesia. Oleh karena itu, perlambatan ekonomi, khususnya koreksi atas pertumbuhan ekonomi di China dari 7,8% menjadi 7,5% berdampak ke Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS), mencatat nilai ekspor tercatat sebesar USD15,11 miliar pada Juli lalu atau naik 2,37% dari nilai ekspor pada Juni 2013. Kenaikan nilai ekspor tersebut sangat tidak sebanding dengan kenaikan nilai impor, di mana Juli lalu tercatat sebesar USD17,42 miliar atau melonjak 11,4% dibanding Juni 2013. Untuk tujuan ekspor, China masih menduduki urutan pertama senilai USD11,77 miliar, ditempel Jepang senilai USD9,54 miliar, dan Amerika Serikat senilai USD9,03 miliar.
Sedangkan pangsa pasar terbesar meliputi bahan bakar mineral sebesar USD15,04 miliar, lemak dan minyak nabati sebesar USD10,92 miliar. Untuk ekspor barang industri, pertanian dan hasil tambang mengalami penurunan. Sementara porsi impor juga didominasi China dan Jepang masing-masing senilai USD17,44 miliar dan USD11,49 miliar, lalu disusul Thailand sebesar USD6,75 miliar.
Barang impor berupa mesin dan peralatan mekanik tercatat mendominasi senilai USD15,83 miliar serta mesin dan peralatan listrik mencapai USD11,3 miliar. Tugas pemerintah dalam mengawal dan menjaga pertumbuhan perekonomian nasional dalam empat bulan terakhir tahun ini memang penuh ekstra tantangan, selain gejolak defisit NPI yang makin liar juga diperparah laju inflasi yang semakin tinggi.
Selain harus mewaspadai defisit transaksi berjalan dan inflasi yang masih melaju tinggi, kebijakan otoritas moneter menaikkan BI rate juga perlu diwaspadai. Sebab kebijakan pengetatan moneter yang dimaksudkan untuk mengendalikan inflasi, stabilitas nilai tukar rupiah, dan penyesuaian defisit transaksi berjalan secara berlanjut akan memukul sektor riil. Perbankan akan mengerem laju kreditnya dan sektor riil juga sulit menyerap kredit pinjaman karena adanya kenaikan suku bunga.
Karena itu, BI yang semula menargetkan pertumbuhan kredit perbankan sekitar 23% hingga 24% memprediksi turun menjadi 18% sampai 20%, seiring langkah perbankan meninggikan suku bunga kredit yang mengikuti suku bunga acuan bank sentral.
Kenaikan suku bunga acuan ini juga akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebab, sektor riil dan investasi akan terbebani dengan tingginya suku bunga perbankan.
Bank Dunia, IMF dan Bank Indonesia sudah mengkoreksi target pertumbuhan ekonomi tahun 2013 dibawah enam persen. Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2013 sebesar 5,9 persen dari sebelumnya 6,2 persen. IMF juga menurunkan target pertumbuhan ekonomi tahun 2013 menjadi sekitar 5,25 persen dari sebelumnya 6,3 persen. The Economist dalam edisi terbarunya menurunkan target pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dari 5,8 persen menjadi 5,1 persen.
Bank Indonesia (BI) juga kembali merevisi target pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika awalnya bank sentral ini memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan berada di kisaran 5,8-6,2 persen, maka kali ini pertumbuhan ekonomi diturunkan jadi 5,5-5,9 persen.
Bagaimana dengan defisit transaksi berjalan? IMF memproyeksikan defisit transaksi berjalan sebesar 3,5 persen dari PDB, dari proyeksi sebelumnya sebesar 3,3 persen PDB. Pada kuartal II 2013, defisit neraca pembayaran Indonesia mencapai 4,4 persen dar PDB, naik signifikan dari kuartal I sebesar 2,6 persen dari PDB. (*)
Data transaksi saham di bursa Efek Indonesia sejak awal September 2013 memperlihatkan net buying atau pembelian bersih oleh pemodal asing sekira Rp1,78 triliun. Selain itu, Rp12,4 triliun, dari Rp273,2 triliun awal Januari 2013 menjadi Rp285,6 triliun per 13 September lalu.
Pelaku pasar memperkirakan volatilitas Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diprediksi makin tinggi merespons hasil pertemuan Komisi Pasar Bebas Federal atau pertemuan Dewan Gubenur Bank Sentral AS.
Sejak kebijakan stimulus moneter tahap I, II, dan III di AS pada 2009 - 2012, banyak dana mengalir ke negara-negara berkembang. Kebijakan quantitative easing yang dirilis bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve, itu, kemudian membuka arus investasi asing hingga membanjiri Indonesia. Dana ini secara perlahan mengangkat rasio kredit terhadap produk domestik bruto (PDB) kembali ke titik tertingginya pra-krisis 1997. Hal itu membuat pasar modal dan pasar surat utang negara (SUN) menjadi begitu aktif.
Bank Indonesia memproyeksi nilai tukar rupiah akan stabil dalam jangka pendek setelah The Fed membatalkan rencana pengurangan (tapering off). Meski demikian, Indonesia harus tetap waspada terhadap tekanan nilai tukar terutama akibat faktor internal, yakni melebarnya defisit transaksi berjalan serta tekanan inflasi.
Nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dolar Rate (Jisdor) menguat 214 poin menjadi Rp11.278/USD setelah Gubernur The Fed Ben Bernanke mengumumkan penundaan tapering off, isu global utama yang memberikan persepsi negatif terhadap nilai tukar negara berkembang dalam beberapa pekan terakhir.
Adapun faktor internal yang memberikan kontribusi terhadap pelemahan rupiah adalah melebarnya defisit transaksi berjalan hingga menyentuh 4,4% dari Produk Domestik Bruto pada triwulan II lalu. Faktor lain adalah inflasi yang secara tahunan menyentuh 8,79% pada akhir Agustus lalu, setelah penaikan harga BBM bersubsidi.
Sebelumnya, untuk menjaga stabilitas nilai tukar BI telah menaikkan BI rate sebesar 7,25%, yang mengakhiri masa masa suku bunga perbankan rendah, yakni satu angka atau di bawah 10%. Kenaikan BI rate juga dalam rangka merespons rencana pengurangan stimulus moneter (quantitative easing) di Amerika Serikat.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menegaskan BI akan respons rencana pengurangan stimulus moneter di Amerika Serikat dengan menjaga stabilitas nilai tukar. BI juga akan meyakinkan bahwa yang terjadi lebih merupakan sentimen dibandingkan fundamental ekonomi.
Sejak muncul isu akan adanya tapering off, telah mendorong para pengelola dana mereposisi asetnya. Mereka mengubah strategi penempatan dana dengan keluar dulu dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, kemudian mengatur kembali komposisi aset. Di Indonesia, hal tersebut berdampak pada nilai tukar. Namun demikian, pergerakan nilai tukar rupiah masih sesuai dengan kondisi di kawasan.
Tekanan terhadap nilai tukar rupiah bukan hanya masalah pengurangan stimulus moneter di AS yang merupakan faktor eksternal. Defisit neraca pembayaran dan defisit neraca perdagangan, turut memberikan andil terhadap tekanan nilai tukar.
Selain isu tentang rencana pengurangan stimulus moneter di AS yang sedikit banyak akan berdampak pada pasar pasar keuangan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, perekonomin Indonesia juga perlu mewaspadai perlambatan ekonomi di China.
China, merupakan salah satu pasar ekspor Indonesia. Oleh karena itu, perlambatan ekonomi, khususnya koreksi atas pertumbuhan ekonomi di China dari 7,8% menjadi 7,5% berdampak ke Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS), mencatat nilai ekspor tercatat sebesar USD15,11 miliar pada Juli lalu atau naik 2,37% dari nilai ekspor pada Juni 2013. Kenaikan nilai ekspor tersebut sangat tidak sebanding dengan kenaikan nilai impor, di mana Juli lalu tercatat sebesar USD17,42 miliar atau melonjak 11,4% dibanding Juni 2013. Untuk tujuan ekspor, China masih menduduki urutan pertama senilai USD11,77 miliar, ditempel Jepang senilai USD9,54 miliar, dan Amerika Serikat senilai USD9,03 miliar.
Sedangkan pangsa pasar terbesar meliputi bahan bakar mineral sebesar USD15,04 miliar, lemak dan minyak nabati sebesar USD10,92 miliar. Untuk ekspor barang industri, pertanian dan hasil tambang mengalami penurunan. Sementara porsi impor juga didominasi China dan Jepang masing-masing senilai USD17,44 miliar dan USD11,49 miliar, lalu disusul Thailand sebesar USD6,75 miliar.
Barang impor berupa mesin dan peralatan mekanik tercatat mendominasi senilai USD15,83 miliar serta mesin dan peralatan listrik mencapai USD11,3 miliar. Tugas pemerintah dalam mengawal dan menjaga pertumbuhan perekonomian nasional dalam empat bulan terakhir tahun ini memang penuh ekstra tantangan, selain gejolak defisit NPI yang makin liar juga diperparah laju inflasi yang semakin tinggi.
Selain harus mewaspadai defisit transaksi berjalan dan inflasi yang masih melaju tinggi, kebijakan otoritas moneter menaikkan BI rate juga perlu diwaspadai. Sebab kebijakan pengetatan moneter yang dimaksudkan untuk mengendalikan inflasi, stabilitas nilai tukar rupiah, dan penyesuaian defisit transaksi berjalan secara berlanjut akan memukul sektor riil. Perbankan akan mengerem laju kreditnya dan sektor riil juga sulit menyerap kredit pinjaman karena adanya kenaikan suku bunga.
Karena itu, BI yang semula menargetkan pertumbuhan kredit perbankan sekitar 23% hingga 24% memprediksi turun menjadi 18% sampai 20%, seiring langkah perbankan meninggikan suku bunga kredit yang mengikuti suku bunga acuan bank sentral.
Kenaikan suku bunga acuan ini juga akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebab, sektor riil dan investasi akan terbebani dengan tingginya suku bunga perbankan.
Bank Dunia, IMF dan Bank Indonesia sudah mengkoreksi target pertumbuhan ekonomi tahun 2013 dibawah enam persen. Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2013 sebesar 5,9 persen dari sebelumnya 6,2 persen. IMF juga menurunkan target pertumbuhan ekonomi tahun 2013 menjadi sekitar 5,25 persen dari sebelumnya 6,3 persen. The Economist dalam edisi terbarunya menurunkan target pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dari 5,8 persen menjadi 5,1 persen.
Bank Indonesia (BI) juga kembali merevisi target pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika awalnya bank sentral ini memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan berada di kisaran 5,8-6,2 persen, maka kali ini pertumbuhan ekonomi diturunkan jadi 5,5-5,9 persen.
Bagaimana dengan defisit transaksi berjalan? IMF memproyeksikan defisit transaksi berjalan sebesar 3,5 persen dari PDB, dari proyeksi sebelumnya sebesar 3,3 persen PDB. Pada kuartal II 2013, defisit neraca pembayaran Indonesia mencapai 4,4 persen dar PDB, naik signifikan dari kuartal I sebesar 2,6 persen dari PDB. (*)
0 komentar:
Post a Comment