Golput Bukan Keinginan Rakyat



Oleh Jainuri, MSi
Dosen Univ. Muhammadiyah Malang
Penulis Buku "Orang Kuat Partai di Aras Lokal"

Masyarakat semakin apatis untuk ikut terlibat dalam urusan politik terutama ikut memilih pemimpin dalam Pemilu (Pemilihan Umum) dan Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah). Fenomena apatis ini menujukkan semakin menguatnya suara golput dalam berdemokrasi.

Menguatnya apatisme politik dan suara golput dinilai karena perilaku dan kinerja buruk politisi dan birokrasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Setiap saat masyarakat menyaksikan perilaku buruk politisi dan birokrasi seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Disamping itu, masyarakat tidak merasakan pembangunan dan kesejahteraan, justru mayoritas masyarakat hidup dalam perangkap kemiskinan.

Hasil Jejak pendapat Kompas menunjukkan Pemilu 1999, partisipasi masyarakat 92,74%, lalu pada Pemilu 2004 turun menjadi 84,07%, dan pemilu 2009 turun menjadi 70,06%. Sama halnya dalam Pemilu, partisipasi masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah dari periode (2008) ke periode (2013) semakin menurun. Misalnya partisipasi masyarakat pada pemilihan gubernur (Pilgub) NTT tahun 2008 mencapai 80,47%, tahun 2013 menurun menjadi 78%, Pilgub Bali tahun 2008 mencapai 76,44%, tahun 2013 menurun menjadi 74%, Pilgub NTB tahun 2008 mencapai 74,95%, tahun 2013 menurun menjadi 70,46%, Pilgub Sumsel tahun 2008 mencapai 72,79%, tahun 2013 menurun menjadi 66,9%, Pilgub Jabar tahun 2008 mencapai 67,31%, tahun 2013 menurun menjadi 63,44%, Pilgub Sumut tahun 2008 mencapai 59,13%, tahun 2013 menurun menjadi 53,96%,  Pilgub Jateng tahun 2008 58,45%, tahun 2013 menurun menjadi 48,5%.

Golput dan Korupsi

Fenomena golput ini sangat bertentangan dengan gerakan reformasi 1998. Salah satu tujuan gerakan reformasi 1998 adalah mewujudkan demokratisasi pada  segala aspek terutama dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Demokratisasi yang dimaksud adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat aktif dalam kehidupan politik dan pemerintahan seperti menentukan pemimpin politik secara langsung, membuat kebijakan sesuai kebutuhan masyarakat, dan mengawasi jalannya pemerintahan.

Reformasi telah memasuki umur satu dasawarsa lebih namun partisipasi masyarakat dalam politik semakin lama semakin merosot. Angka golput semakin meningkat sebagaimana hasil jejak pendapat kompas di atas. “Tidak ada asap tanpa api”, “tidak ada masalah tanpa sebab”. Pepatah ini relevan untuk membaca fenomena golput di tanah air. Tidak mungkin golput muncul begitu saja tanpa ada sebab yang memicunya. Di awal tulisan ini disinggung fenomena golput dikarenakan perilaku dan kinerja buruk politisi dan birokrasi.

Tampaknya masyarakat muak dengan politisi dan birokrasi, baik yang ada di level pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah. Di tingkat pusat, setiap saat masyarakat menyaksikan kasus tindakan korupsi politisi dan birokrasi seperti kasus Century, Hambalang, Simolator SIM, Impor Daging Sapi, dan baru-baru ini muncul kasus SKK Migas. Sederet kasus tersebut adalah sedikit dari banyak kasus lain yang melibatkan politisi dan birokrasi.

Di tingkat daerah, masyarakat sangat mudah menemukan tindakan KKN yang dilakukan politisi dan birokrasi. Politisi dan birokrasi seolah tidak takut dan sudah menjadi kebiasaan untuk melakukan tindakan KKN. Hasil kajian Indonesia Public Institute (IPI) tentang Korupsi Kepala Daerah, misalnya, sejak diterapkan kebijakan otonomi daerah melalui undang-undang nomor 22 tahun 1999 kemudian diganti undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah,hingga Juli 2013 terdapat 298 kepala daerah dari 524 total jumlah kepala daerah di Indonesia tersangkut masalah korupsi, baik sebagai saksi, tersangka terdakwa atau terpidana korupsi.

Politisi DPRD dan birokrasi SKPD (satua kerja perangkat daerah) tidak mau ketinggalan dari kepala daerah untuk melakukan tindakan KKN.Kementrian dalam negeri (Kemendagri) merilis terdapat 3.000 anggota DPRD se-Indonesia tersangkut persoalan hukum.Selain itu, acapkali birokrasi PNS seperti kepala SKPD termasuk Sekretariat Daerah (Sekda) melakukan tindakan korupsi.

Korupsi dilakukan beragam modus seperti penggelapan pajak daerah, penggelapan anggaran daerah, penyusunan APBD tanpa didasari standar analisis belanja yang tepat, dan berbagai modus lain dilakukan untuk memperkaya diri, anggota, golongan, dan kelompok. Di sisi lain, masyarakat hidup dalam keadaan sesak karena kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja, keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan, keterbatasan rumah layak huni, keterbatasan akses informasi dan pelayanan, dan berbagai perangkap kemiskinan lain.

Golput dan Kemiskinan

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Maret 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,07 juta orang atau 11,37%. Angka kemiskinan ini tentu melebihi target yang disepakati oleh Pemerintah dan DPR dalam APBN-P 2013 di mana angka kemiskinan ditetapkan sebesar 10,5%. Berdasarkan data BPS per bulan Februari 2013 menunjukkan bahwa angka pengangguran di Indonesia mencapai 7,17 juta orang atau 5,92%, di mana Pemerintah menargetkan sebesar 5,5 - 5,8% di akhir tahun 2013. Angka-angka ini menunjukkan bahwa 1 diantara 9 orang Indonesia adalah rakyat miskin dan 1 diantara 17 orang Indonesia adalah pengangguran (Hentje Pongoh, 2013).

Kendati program pembangunan infrastruktur terus digulirkan pemerintah namun kondisi pembangunan infrastruktur daerah dinilai masih jauh dari harapan. Masyarakat masih belum dapat menikmati infrastruktur sebagai sarana kesejahteraan. Di Jawa Timur (Jatim), misalnya, meskipun dikenal sebagai daerah yang maju dalam segi pembangunan namun tetap saja kondisi riil masyarakat Jatim tidak mendapatkan pelayanan infrastruktur memadai dari pemerintah daerah provinsi Jatim.

Baru-baru ini, masyarakat di beberapa Kabupaten/Kota Jatim kesulitan mendapatkan air bersih untuk kebutuhan hidup sehari-hari, dan mereka kesulitan mendapatkan air untuk menopang kebutuhan pertanian sehingga sejumlah masyarakat tani mengalami kerugian karena kekeringan.

Masyarakat di daerah Nusa Tenggara Barat (NTB), juga menjadi cerminan buruk kondisi kehidupan masyarakat. Masyarakat NTB kesulitan mendapatkan pelayanan memadai dari pemerintah daerah setempat. Kendati pemerintah Propinsi NTB mengeluarkan sejumlah kebijakan kerakyatan seperti PIJAR namun kondisi riil masyarakat NTB menyedihkan. Berdasarkan catatan Bali Post, kasus busung lapar yang ada di NTB tidak bisa dibilang kecil. Tahun 2004 saja ditemukan ratusan kasus di Lombok. Ratusan kasus pun mencuat di Pulau Sumbawa. Hingga 2013, diperkirakan penderitanya mencapai 458 orang.
Kondisi buruk kehidupan masyarakat di daerah Jatim dan NTB, juga terjadi diberbagai daerah lain seperti di daerah NTT, Bali, Sumsel, Jabar, Sumut, Jateng, Papua, dan daerah-daerah lain.  Karena itu, tidak heran masyarakat semakin apatis (golput) untuk terlibat dalam kehidupan politik dan pemerintahan termasuk dalam Pemilu dan Pemilukada. Pada konteks ini, meningkatnya golput bukan karena rakyat namun disebabkan perilaku dan kinerja buruk pemerintah, politisi, dan birokrasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya.Hemat saya, apabila pemerintah, politisi, dan birokrasi terus gagal mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera dan berdaya dalam segala aspek bukan tidak mungkin angka golput semakin meningkat.

Membangun kepercayaan masyarakat untuk terlibat aktif dalam politik dan pemerintahan tidak cukup langkah-langkah konvensional seperti yang dilakukan pemerintah, politisi, dan birokrasi selama ini, yakni pemasangan iklan di media cetak, elektronik, pemasangan spanduk, blusukan dadakan, dan upaya-upaya konvensional lain. Upaya konvensional tersebut justru membangkitkan emosi masyarakat untuk tidak terlibat aktif dalam politik dan pemerintahan. Pasalnya apa yang dipublikasikan tidak sesuai dengan kondisi riil yang dihadapi masyarakat di lapangan. Mestinya pemerintah, politisi, dan birokrasi harus sadar bahwa masyarakat cerdas dalam memahami kondisi kehidupan senyatanya.

Langkah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Pemilu, Pemilukada, dan Pileg, adalah pemerintah harus memberikan perhatian serius untuk mewujudkan kesejahteraan hidup masyarakat.Pemerintah, politisi, dan birokrasi harus bersama-sama mengambil peran strategis untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan cara menghindari dari tindakan korupsi, membuat dan menjalankan program pembangunan dengan baik dan tepat sasaran, menyelenggarakan pelayanan publik yang dapat dijangkau masyarakat, dan menyediakan infrastruktur sebagai penopang kehidupan masyarakat. Semoga! (*)


Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Post a Comment