Oleh Ardi Winangun
Penggiat Komunitas Penulis Lapak Isu (Koplaks)
Penggiat Komunitas Penulis Lapak Isu (Koplaks)
Kasus masuknya unsur pornografi dan
kata-kata kasar pada buku pelajaran anak-anak sekolah sepertinya tidak pernah
menjadi pelajaran bagi para pendidik. Pendidik di sini adalah mulai dari
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, kepala daerah, kepala dinas pendidikan,
kepala sekolah dan para guru. Bukti tidak pernah menjadi pelajaran sebab
masuknya hal-hal yang dirasa merusak moral dan mental anak-anak sekolah dalam
buku pelajaran selalu terulang.
Belum usai masalah masuknya kata kasar seperti “bangsat” dan “banjingan” di buku pelajaran SMP di Kota Semarang, Jawa Tengah, masyarakat dihebohkan dengan adanya kuisioner yang harus diisi oleh siswa SMP di Kota Sabang, Aceh, tentang berapa panjang alat kelamin dan berapa besar payudara mereka. Kuis itu rupanya juga ditemukan di Sleman, Jogjakarta.
Biasanya para guru di sekolah baru terperanjat ketika hal-hal demikian direspons oleh orangtua siswa. Terus selama ini ke mana mereka? Sering terjadinya hal-hal yang tidak etis atau hal-hal yang dirasa belum waktunya masuk pada buku-buku, itu sebuah akibat dari proses pendidikan kita yang hanya mengejar kualitas. Dalam mengejar kualitas, para siswa diharapkan untuk giat belajar. Agar giat belajar maka siswa harus sering bergelut dengan buku ajar. Nah dengan banyaknya buku ajar yang dimiliki sang siswa maka sang siswa mempunyai potensi untuk meningkat kualitasnya.
Untuk memenuhi buku-buku tambahan, selama ini pemerintah sepertinya lepas tangan. Pemerintah menyerahkan buku tambahan kepada sekolah. Peluang ini dibaca oleh penerbit untuk menerbitkan buku-buku tambahan yang beragam dan semua jenjang kelas dilayani. Sebab penerbit banyak maka buku-buku tambahan untuk anak sekolah pun melimpah dan berserak.
Melimpahnya buku pelajaran tambahan itu membuat kepala sekolah dan guru kewalahan dalam menyeleksi buku tambahan mana yang cocok untuk siswanya. Di tengah kesibukan mengajar dan adanya iming-iming dari para penerbit akan bonus bila satu kelas bahkan satu sekolah membeli buku membuat kepala sekolah dan guru tidak konsentrasi dalam mengoreksi isi buku, termasuk formulir buat siswa. Kecerobohan yang terjadi membuat hal-hal yang tak pantas tadi terjadi.
Agar hal-hal di atas tak terulang, maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bertanggungjawab dalam masalah ini, harus bersikap tegas kepada para penerbit, kepala daerah, kepala dinas, kepala sekolah, dan guru yang tak awas dalam membuat dan mengoreksi isi buku tambahan. Bisa saja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam masalah ini lepas tangan dengan dalih, pendidikan adalah bagian dari otonomi daerah sehingga hal demikian urusan kepala daerah.
Apa yang didalihkan kementerian yang dipimpin oleh Muhammad Nuh itu bisa saja benar sebab dengan adanya otonomi daerah membuat pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tak maksimal. Dengan dalih demikian maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tak mempunyai wewenang langsung untuk memantau peredaran buku tambahan.
Dengan tak adanya pengawasan langsung maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tak tahu adanya lalu lalang buku tambahan sekolah yang demikian massifnya. Tak adanya pengawasan dari otoritas yang seharusnya bertanggungjawab inilah yang membuat penerbit, kepala sekolah, dan guru seenaknya sendiri dalam menentukan buku tambahan. Sedang kepala daerah dan kepala dinas tak mau tahu.
Menginginkan agar masuknya pornografi, SARA, dan vandalisme dalam buku sekolah tak terulang merupakan keinginan seluruh masyarakat. Untuk itu maka masalah pendidikan tak bisa seenaknya diurus. Sibuknya kepala daerah ‘mengembalikan’ modal selepas menang Pilkada membuat kepala daerah juga kurang konsentrasi dalam mengurusi pendidikan di daerahnya. Bisa jadi kepala daerah malah mengkapitalisasi dunia pendidikan untuk kepentingan pribadinya. Karena pendidikan urusan daerah maka di sini kepala daerah mempunyai hak yang luas untuk mengatur segala hal mengenai pendidikan, seperti bisa memindah guru atau memilih kepala dinas pendidiikan. Hak yang demikian juga bisa membuat kepala daerah bermain mata dengan penerbit. Dengan haknya kepala daerah bisa menekan kepala sekolah dan guru untuk membeli buku dari salah satu penerbit tanpa memikirkan isi buku.
Berangkat dari paparan di atas maka urusan pendidikan ini harus ‘diambil kembali’ oleh pemerintah pusat. Diambil kembali oleh pemerintah pusat bukan menjadikan pendidikan seperti masalah urusan luar negeri, keuangan, pertahanan dan keamanan, dan agama yang saat ini menjadi wewenang urusan pemerintah pusat namun bagaimana hal-hal yang mengenai urusan materi pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Memang selama ini masalah kurikulum sudah menjadi urusan pemerintah pusat namun masalah materi buku terkadang diserahkan ke daerah. Sisi positifnya masalah materi diserahkan ke daerah memang bagus yakni supaya timbul kreativitas namun terbukti lebih banyak teledornya daripada kreativitasnya.
Ketika pemerintah pusat mengurusi masalah isi buku materi maka pemerintah pusat berhak memberi rambu-rambu dan syarat kepada penerbit untuk bagaimana mencetak buku yang bertanggungjawab. Pemerintah harus membentuk semacam badan pengawas buku sekolah. Ketika pemerintah tegas dalam masalah ini maka penerbit, kepala daerah, kepala dinas, kepala sekolah, dan guru harus patuh.
Ketika aturan ini berjalan maka penerbit, kepala sekolah, dan guru tak bisa menentukan seenaknya sendiri buku-buku yang akan dijual kepada siswa. Semua buku yang dijual kepada siswa harus diberi cap ‘halal’ oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan aturan ini maka para pendidik di daerah, mulai dari kepala daerah, kepala dinas, kepala sekolah, dan guru akan tetap konsentrasi pada kerjanya dan tidak memikirkan buku (dan komisinya). Bagaimana kalau buku itu masih mengandung unsur pornografi, SARA, dan vandalisme? Berarti yang salah pada menterinya bukan pada orang daerah. (*)
Belum usai masalah masuknya kata kasar seperti “bangsat” dan “banjingan” di buku pelajaran SMP di Kota Semarang, Jawa Tengah, masyarakat dihebohkan dengan adanya kuisioner yang harus diisi oleh siswa SMP di Kota Sabang, Aceh, tentang berapa panjang alat kelamin dan berapa besar payudara mereka. Kuis itu rupanya juga ditemukan di Sleman, Jogjakarta.
Biasanya para guru di sekolah baru terperanjat ketika hal-hal demikian direspons oleh orangtua siswa. Terus selama ini ke mana mereka? Sering terjadinya hal-hal yang tidak etis atau hal-hal yang dirasa belum waktunya masuk pada buku-buku, itu sebuah akibat dari proses pendidikan kita yang hanya mengejar kualitas. Dalam mengejar kualitas, para siswa diharapkan untuk giat belajar. Agar giat belajar maka siswa harus sering bergelut dengan buku ajar. Nah dengan banyaknya buku ajar yang dimiliki sang siswa maka sang siswa mempunyai potensi untuk meningkat kualitasnya.
Untuk memenuhi buku-buku tambahan, selama ini pemerintah sepertinya lepas tangan. Pemerintah menyerahkan buku tambahan kepada sekolah. Peluang ini dibaca oleh penerbit untuk menerbitkan buku-buku tambahan yang beragam dan semua jenjang kelas dilayani. Sebab penerbit banyak maka buku-buku tambahan untuk anak sekolah pun melimpah dan berserak.
Melimpahnya buku pelajaran tambahan itu membuat kepala sekolah dan guru kewalahan dalam menyeleksi buku tambahan mana yang cocok untuk siswanya. Di tengah kesibukan mengajar dan adanya iming-iming dari para penerbit akan bonus bila satu kelas bahkan satu sekolah membeli buku membuat kepala sekolah dan guru tidak konsentrasi dalam mengoreksi isi buku, termasuk formulir buat siswa. Kecerobohan yang terjadi membuat hal-hal yang tak pantas tadi terjadi.
Agar hal-hal di atas tak terulang, maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bertanggungjawab dalam masalah ini, harus bersikap tegas kepada para penerbit, kepala daerah, kepala dinas, kepala sekolah, dan guru yang tak awas dalam membuat dan mengoreksi isi buku tambahan. Bisa saja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam masalah ini lepas tangan dengan dalih, pendidikan adalah bagian dari otonomi daerah sehingga hal demikian urusan kepala daerah.
Apa yang didalihkan kementerian yang dipimpin oleh Muhammad Nuh itu bisa saja benar sebab dengan adanya otonomi daerah membuat pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tak maksimal. Dengan dalih demikian maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tak mempunyai wewenang langsung untuk memantau peredaran buku tambahan.
Dengan tak adanya pengawasan langsung maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tak tahu adanya lalu lalang buku tambahan sekolah yang demikian massifnya. Tak adanya pengawasan dari otoritas yang seharusnya bertanggungjawab inilah yang membuat penerbit, kepala sekolah, dan guru seenaknya sendiri dalam menentukan buku tambahan. Sedang kepala daerah dan kepala dinas tak mau tahu.
Menginginkan agar masuknya pornografi, SARA, dan vandalisme dalam buku sekolah tak terulang merupakan keinginan seluruh masyarakat. Untuk itu maka masalah pendidikan tak bisa seenaknya diurus. Sibuknya kepala daerah ‘mengembalikan’ modal selepas menang Pilkada membuat kepala daerah juga kurang konsentrasi dalam mengurusi pendidikan di daerahnya. Bisa jadi kepala daerah malah mengkapitalisasi dunia pendidikan untuk kepentingan pribadinya. Karena pendidikan urusan daerah maka di sini kepala daerah mempunyai hak yang luas untuk mengatur segala hal mengenai pendidikan, seperti bisa memindah guru atau memilih kepala dinas pendidiikan. Hak yang demikian juga bisa membuat kepala daerah bermain mata dengan penerbit. Dengan haknya kepala daerah bisa menekan kepala sekolah dan guru untuk membeli buku dari salah satu penerbit tanpa memikirkan isi buku.
Berangkat dari paparan di atas maka urusan pendidikan ini harus ‘diambil kembali’ oleh pemerintah pusat. Diambil kembali oleh pemerintah pusat bukan menjadikan pendidikan seperti masalah urusan luar negeri, keuangan, pertahanan dan keamanan, dan agama yang saat ini menjadi wewenang urusan pemerintah pusat namun bagaimana hal-hal yang mengenai urusan materi pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Memang selama ini masalah kurikulum sudah menjadi urusan pemerintah pusat namun masalah materi buku terkadang diserahkan ke daerah. Sisi positifnya masalah materi diserahkan ke daerah memang bagus yakni supaya timbul kreativitas namun terbukti lebih banyak teledornya daripada kreativitasnya.
Ketika pemerintah pusat mengurusi masalah isi buku materi maka pemerintah pusat berhak memberi rambu-rambu dan syarat kepada penerbit untuk bagaimana mencetak buku yang bertanggungjawab. Pemerintah harus membentuk semacam badan pengawas buku sekolah. Ketika pemerintah tegas dalam masalah ini maka penerbit, kepala daerah, kepala dinas, kepala sekolah, dan guru harus patuh.
Ketika aturan ini berjalan maka penerbit, kepala sekolah, dan guru tak bisa menentukan seenaknya sendiri buku-buku yang akan dijual kepada siswa. Semua buku yang dijual kepada siswa harus diberi cap ‘halal’ oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan aturan ini maka para pendidik di daerah, mulai dari kepala daerah, kepala dinas, kepala sekolah, dan guru akan tetap konsentrasi pada kerjanya dan tidak memikirkan buku (dan komisinya). Bagaimana kalau buku itu masih mengandung unsur pornografi, SARA, dan vandalisme? Berarti yang salah pada menterinya bukan pada orang daerah. (*)
0 komentar:
Post a Comment