Konflik Politik Suriah dan Konsistensi Turki



Oleh Muhammmad Ibrahim Hamdani, S.I.P
Staf Peneliti di Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) Universitas Indonesia

Sistem sekulerisme Turki a’la Mustafa Kemal Ataturk mengalami perubahan yang cukup signifikan di masa pemerintahan Presiden Abdulah Gul dan Perdana Menteri (PM) Recep Tayyip Erdoggan yang berasal dari Partai Keadilan dan Pembangunan (PKP). Perubahan tersebut meliputi definisi dan penerapan substansi sekulerisme dalam sistem politik kenegaraan dan kehidupan sehari-hari rakyat Turki yang disesuaikan dengan nilai-nilai universalisme Islam, norma dan prinsip demokrasi serta paradigma baru Turki ala PKP.
 
Sistem sekulerismeyang selama ini diterapkan secara aktif dan kaku oleh pemerintah Turki mengalami perubahan secara bertahap dan terarah menjadi sistem sekuler yang penerapannya lebih pasif dan luwes dengan meminimalkan kontradiksi antara Islam dengan sekulerisme serta menegaskan prinsip non-intervensi militer dalam sistem politik Turki.

PKP selalu berkampanye bahwa sekulerisme haruslah dipandang sebagai sistem politik yang mempertegas pemisahan hak dan kewajiban antara militer dengan sipil sesuai prinsip supremasi sipil atas militer serta memperkuat substansi utama sekulerisme yang tidak mengizinkan tindakan saling intervensi antara agama dengan negara. Terkait hal ini, pidato PM Erdoggan yang sangat terkenal ialah: “Partai politik tidak memiliki agama, yang beragama itu adalah individu rakyat Turki”.

PKP juga mengkritik keras sistem sekulerisme Turki yang penerapannya salah kaprah dan salah arah karena pemerintah telah mencampuri urusan agama dan keyakinan individu warga negara serta membiarkan intervensi militer terhadap sistem politik demokrasi di Turki yang merupakan tugas dan tangung jawab pihak sipil Turki.

Konsekuensi logis dari sikap politik tersebut ialah penolakan tegas PKP terhadap seluruh peraturan pemerintah yang melarang dan mempersulit berbagai macam ekspresi keagamaan, termasuk pelarangan pemakaian jilbab dan pembelajaran Agama Islam, rakyat Turki di ruang publik. PKP juga secara keras menolak intervensi dan kudeta militer Turki terhadap sistem politik demokrasi dan kekuasaan pemerintahan hasil pemilihan umum/mekanisme demokrasi.

Dengan demikian Turki secara bertahap telah berubah menjadi negara yang lebih demokratis, sekuler sekaligus Islami di masa pemerintahan Presiden Gul dan PM Erdogan, termasuk dalam hal kebijakan politik luar negerinya yang mulai aktif merangkul negara-negara di kawasan Timur Tengah.

Turki juga termasuk dalam negara yang menentang keras rezim otoriter pimpinan Presiden Bashar Al-Assad di Suriah dengan alasan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh rezim Assad terhadap rakyat Suriah yang beroposisi dan menentang kebijakan pemerintah. Penghormatan terhadap HAM merupakan konsekuensi logis dari ideologi sekularisme yang dianut oleh Turki modern sekaligus penerapan dari  prinsip demokrasi dan universalisme Islam yang saat ini dipromosikan oleh Presiden Gul dan PM. Erdogan di Turki.

Subyek dari prinsip sekularisme adalah manusia dewasa yang secara rasional dapat memisahkan antara urusan agama dengan urusan negara serta tidak membiarkan keduanya saling mencampuri satu sama lain sehingga negara dan agama dapat berjalan secara bersama-sama, beriringan, saling melengkapi dan tidak saling mengganggu. Dengan demikian penghormatan terhadap HAM merupakan konsekuensi logis dari penerapan prinsip sekulerisme, norma demokrasi, dan universalisme Islam.

Bahkan PM Erdogan secara terang-terangan menyatakan bahwa Presiden Bashar Al-Assad adalah seorang teroris dan bukan politisi karena telah membunuh lebih dari 100.000 orang rakyatnya sendiri. “Saya tidak menganggap Bashar Al-Assad sebagai seorang politisi lagi. Dia seorang teroris yang melakukan tindakan terorisme di negaranya. Seorang yang membunuh 110.000 rakyatnya adalah seorang teroris,” tegas PM.Erdogan seperti dikutip Jerusalem Post (8/10/2013).

Konsekuensi dari perseteruan tersebut ialah terjadinya bentrokan militer kedua negara di sepanjang perbatasan Turki – Suriah, diusirnya diplomat, konsuler dan kuasa usaha Suriah dari Turki dan dukungan Turki yang cukup ekstrim terhadap aliansi pemberontak Suriah serta perang psikologis antara PM Erdogan dan Presiden Assad. “Kami meminta kuasa usaha dan diplomat-diplomat Suriah untuk meninggalkan Turki dalam 72 jam terhitung mulai 30 Mei,” tegas Kementerian Luar Negeri Turki (30/5/2012).

Adapun dukungan ekstrim Turki terhadap pemberontak Suriah dinyatakan oleh Presiden Assad secara langsung dalam sebuah wawancara dengan jaringan televisi Turki, Halk TV, yakni: “PM Erdogan telah membiarkan ekstirimis dari lebih dari 80 negara melintas perbatasan ke Suriah. Hal ini menyebabkan tewasnya puluhan ribu warga Suriah. Dalam Waktu dekat para teroris ini akan memberikan dampak bagi Turki. Dan Turki akan membayar sangat mahal atas kontribusinya,” (4/10/2013).

Jika kecurigaan ini benar maka Turki telah melakukan tindakan konkret dan ekstrim untuk ‘memaksa’ rezim Assad agar tidak melakukan pelanggaran HAM terhadap pasukan pemberontak dan kelompok oposisi Suriah serta untuk mewujudkan terjadinya pergantian rezim di Suriah secepatnya.

Bahkan meskipun cara-cara tersebut cenderung melanggar hukum batas wilayah internasional dan kedaulatan teritorial Suriah, namun hal ini tetap dilakukan pemerintah Turki dengan alasan kondisi darurat dan sebagai balasan terhadap serangan militer Suriah terhadap rakyat Turki. Setahun yang lalu lima orang warga Turki, dua wanita dan tiga anak-anak, telah terbunuh dalam sebuah tembakan mortir Suriah yang jatuh di kota Akcakale, daerah perbatasan Turki-Suriah, seperti diberitakan Reuters(4/10/2012).

Dengan alasan ini Turki mengirimkan pasukan altilerinya ke sepanjang perbatasan Turki – Suriah dan memborbardir wilayah Suriah dengan mortir dan meriam. “Angkatan bersenjata kami merespons secepatnya serangan tersebut, sesuai dengan aturan perlibatan. Berdasarkan radar, artileri kami telah mengenai target di Suriah. Turki tidak akan tinggal diam dalam menghadapi provokasi dari rezim Suriah terhadap keamanan nasional kami,” tegas PM Erdogan dalam pernyataan resminya (4/10/2012).

Dengan demikian pemerintah Turki bermaksud untuk menjadi ‘Polisi dan Hakim Regional’ yang menyebarluaskan pemahaman tentang HAM, mengawasi praktik pelaksanaannya oleh pemerintah di kawasan Timur Tengah, khususnya Suriah, dan memvonis secara tegas negara-negara yang melakukan pelanggaran HAM.

Hal ini merupakan konsekuensi logis dari prinsip sekulerisme, norma demokrasi dan nilai-nilai universalisme Islam yang diyakini dan dianut oleh Turki di bawah pemerintah Presiden Gul dan PM. Erdogan dari Partai PKP. Adapun vonis tersebut dapat berupa renggangnya hubungan diplomatik hingga perang terbatas antara kedua negara seperti terjadi pada Suriah, Mesir dan Israel.

Adapun perang terbatas antara Turki dan Suriah dipicu oleh pelanggaran perbatasan kedaulatan teritorial Turki oleh militer Suriah serta tewasnya sejumlah warga sipil Turki di dekat perbatasan Turki - Suriah akibat serangan militer yang berasal dari wilayah Suriah. (*)


Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Post a Comment