Oleh Eka Pangulimara Hutajulu
Pemerhati sosial dan politik
Alumni FE UNS Surakarta dan kini studi lanjut di Institut Bisnis Nusantara Jakarta
Pemerhati sosial dan politik
Alumni FE UNS Surakarta dan kini studi lanjut di Institut Bisnis Nusantara Jakarta
Dalam benak “polos” kita, menjadi pengemis adalah pilihan
terakhir siapapun. Meminta-minta merupakan bentuk kekalahan total menghadapi
kehidupan, baik karena ketiadaan kemampuan maupun faktor lain, seperti umur
tua, penyakitan atau menyandang disabilitas tertentu. Tidak ada cara lain yang
memungkinkan untuk bertahan hidup, sehingga jadilah dia pengemis. Dia miskin
semiskin-miskinnya.
Penampilan mereka mewakili pandangan polos kita. Berbaju lusuh, mungkin juga jarang mandi, berjalan tertatih, sebagian memperlihatkan luka atau kecacatan anggota tubuh. Di bilangan Senayan, penulis secara pribadi kerap melihat pengemis perempuan muda yang hidungnya diplester hingga rata dengan pipi, mungkin untuk menimbulkan kesan cacat atau terluka.
Nyatanya kita semua terkecoh. Pengemis tak sepapa yang dikira. Sebagian dari mereka memiliki penghasilan ala profesional. Meski belum ada sensus resmi, setidaknya pendapatan para pengemis rata-rata melebihi gaji PNS, atau setidaknya buruh sekitaran Ibukota Jakarta. Beberapa berita di media massa mengkonfirmasi hal ini.
Di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) setempat pada Mei lalu merazia sekira 20 pengemis. Dari sepasang suami istri bernama Acin dan Aisyah dalam rombongan pengemis tersebut ditemukan uang sebesar Rp54 juta dan 75 gram emas.
Baru-baru ini, Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan menangkap seorang pengemis yang membawa uang sebesar Rp3,56 juta di depan Pasar Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Uang tersebut disimpan di dalam karung besar berisi botol-botol bekas. Enot (71) si pengemis mengaku mengumpulkan uang sebesar itu hanya dalam waktu 10 hari (Kompas, 3/10/2013).
Satpol PP Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, juga menangkap ”pengemis kaya” bernama Abdul Samad (54) yang berasal dari Kabupaten Sumenep, Jawa Timur (10/7/2013). Dari tangan Abdul Samad, Satpol PP menemukan uang sebesar Rp2.328.000. Abdul Samad juga mengaku sebelumnya telah mengirimkan hasil mengemisnya ke keluarganya yang berada di Sumenep sebesar Rp2,5 juta.
Pengakuan fantastis lain datang dari Rozali, seorang pengemis asal Palembang yang beroperasi di Pangkal Pinang. Lelaki ini mengaku mampu mendapatkan uang hingga Rp700.000 per hari dari mengemis saja. Selain itu, dengan ”profesinya” itu, dia sanggup berkirim uang ke keluarganya di Palembang sebesar Rp2,5 juta perbulan (Kompas, 12/9/2013).
Tidak aneh, saat Walikota Bandung yang baru menjabat, Ridwan Kamil, menawari sejumlah pengemis pekerjaan baru sebagai penyapu jalan (Tribunnews, 1/10/2013), para pengemis itu menolak mentah-mentah. Alih-alih dibayar Rp700 ribu sebulannya, mereka malah mematok gaji Rp4 juta hingga Rp10 juta perbulan. Permintaan ”gaji” pengemis Bandung ini kiranya merupakan gambaran langsung pendapatan mereka selama sebulan.
Pendapatan besar para pengemis memang logis. Sekali orang iba melihat penampilan mereka, duit seribu dua ribu takkan sayang dikeluarkan olehnya. Jika dalam sehari si pengemis bertemu 100 pemberi, maka duit Rp100-200 ribu sudah aman di kantong. Ini perhitungan paling minim karena faktanya dalam sehari pengemis bisa lebih dari 100 kali diberi recehan.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan ibukota provinsi lain memungkinkan pengemis menemui ”banyak dermawan”. Saat lampu merah menyala, dalam sekali tempo akan ada puluhan mobil yang berhenti. Pengemis yang cekatan akan sanggup menjemput rezeki dari puluhan mobil itu dalam waktu 1-2 menit saja! Sekali lampu merah nilainya setara belasan hingga puluhan ribu rupiah.
Pengemis ”rumahan” juga punya kesempatan yang sama. Di daerah urban, rumah-rumah berimpitan. Dalam satu RT yang tak seberapa luas bisa menampung seratusan rumah beserta ratusan keluarga di dalamnya. Hanya berbilang belasan menit, pengemis dapat berkeliling satu RT, ”mengumpulkan” sumbangan yang jika ditotal mencapai puluhan hingga ratusan ribu rupiah.
Distorsi
Kemakmuran pengemis dimungkinkan oleh setidaknya oleh dua hal. Pertama, recehan uang yang umum diberikan pengemis sebenarnya memiliki nilai ekonomi yang cukup besar. Masyarakat tidak sayang memberi Rp1.000, Rp2.000, bahkan Rp5.000 kepada pengemis. Recehan di bawah Rp1.000 saat ini nyaris tak bernilai, dan sering diabaikan. Pengemis bahkan berani menampik pemberian recehan yang terlalu kecil.
Kedua, masyarakat Indonesia gemar berderma, terutama yang bersifat langsung ke pihak penerima. Ini alasan yang juga menjelaskan bala bantuan publik ke korban bencana sangat massif, ketimbang diperantarai lembaga pengelola atau negara. Kegemaran ini bersifat lintas kelas, kelompok menengah ke bawah seperti buruh, petani, pedagang kecil sama-sama tak sungkan memberi sumbangan pada pengemis.
Secara umum, masyarakat kita cenderung kurang percaya kalau sumbangannya dititipkan ke lembaga tertentu, termasuk bikinan negara. Syakwasangka berkembang bahwa dana-dana sumbangan publik mudah diselewengkan atau dikorupsi. Dengan langsung memberikannya pada pengemis, pemberi merasa tidak perlu khawatir lagi akan potensi penyelewengannya.
Masalah kemudian muncul, pemberian yang massif pada pengemis dan tidak terkoordinir itu mengkonsentrasikan sumbangan pada beberapa individu pengemis saja. Mereka menerima limpahan pemberian yang mendistorsi makna sumbangan itu sendiri. Sumbangan berlebih itu bertransformasi dari bantuan alakadarnya menjadi penghasilan seperti layaknya orang bekerja.
Pengemis tak lagi pengemis dalam makna tradisional. Banyak unsur drama yang menyertainya. Mereka ”berakting” demi memancing sebesar-besarnya simpati publik. Berbagai properti atau manipulasi tubuh dilakukan untuk keperluan dimaksud. Bahkan konon, lantaran merupakan sektor bisnis yang menggiurkan, para peminta-minta ini dikoordinir dan dikendalikan oleh pihak lain.
Distorsi yang tak kalah menyedihkan, pengemis mengeliminasi makna kerja keras dalam meraih peruntungan. Pengemis menyajikan fakta bahwa orang tak perlu jadi buruh, bertani, berdagang dan melakukan usaha lain supaya berpenghasilan layak. Cukup menengadahkan tangan dan sedikit mengabaikan rasa malu, mengemis justru mampu menghasilkan uang lebih banyak.
Kampanye untuk tidak memberikan uang ke pengemis memang diperlukan seperti yang dilakukan Walikota Bandung. Sementara itu, wacana kriminalisasi terhadap si pemberi uang terlalu berlebihan dan cenderung menambah persoalan. Pemerintah seharusnya lebih berpikir untuk menyediakan jalan keluar bagi kegemaran berderma warga. Saluran-saluran derma ini wajib digaransi bebas korupsi dan terlihat nyata dalam membantu kalangan masyarakat yang sedang dilanda kesusahan. (*)
Penampilan mereka mewakili pandangan polos kita. Berbaju lusuh, mungkin juga jarang mandi, berjalan tertatih, sebagian memperlihatkan luka atau kecacatan anggota tubuh. Di bilangan Senayan, penulis secara pribadi kerap melihat pengemis perempuan muda yang hidungnya diplester hingga rata dengan pipi, mungkin untuk menimbulkan kesan cacat atau terluka.
Nyatanya kita semua terkecoh. Pengemis tak sepapa yang dikira. Sebagian dari mereka memiliki penghasilan ala profesional. Meski belum ada sensus resmi, setidaknya pendapatan para pengemis rata-rata melebihi gaji PNS, atau setidaknya buruh sekitaran Ibukota Jakarta. Beberapa berita di media massa mengkonfirmasi hal ini.
Di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) setempat pada Mei lalu merazia sekira 20 pengemis. Dari sepasang suami istri bernama Acin dan Aisyah dalam rombongan pengemis tersebut ditemukan uang sebesar Rp54 juta dan 75 gram emas.
Baru-baru ini, Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan menangkap seorang pengemis yang membawa uang sebesar Rp3,56 juta di depan Pasar Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Uang tersebut disimpan di dalam karung besar berisi botol-botol bekas. Enot (71) si pengemis mengaku mengumpulkan uang sebesar itu hanya dalam waktu 10 hari (Kompas, 3/10/2013).
Satpol PP Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, juga menangkap ”pengemis kaya” bernama Abdul Samad (54) yang berasal dari Kabupaten Sumenep, Jawa Timur (10/7/2013). Dari tangan Abdul Samad, Satpol PP menemukan uang sebesar Rp2.328.000. Abdul Samad juga mengaku sebelumnya telah mengirimkan hasil mengemisnya ke keluarganya yang berada di Sumenep sebesar Rp2,5 juta.
Pengakuan fantastis lain datang dari Rozali, seorang pengemis asal Palembang yang beroperasi di Pangkal Pinang. Lelaki ini mengaku mampu mendapatkan uang hingga Rp700.000 per hari dari mengemis saja. Selain itu, dengan ”profesinya” itu, dia sanggup berkirim uang ke keluarganya di Palembang sebesar Rp2,5 juta perbulan (Kompas, 12/9/2013).
Tidak aneh, saat Walikota Bandung yang baru menjabat, Ridwan Kamil, menawari sejumlah pengemis pekerjaan baru sebagai penyapu jalan (Tribunnews, 1/10/2013), para pengemis itu menolak mentah-mentah. Alih-alih dibayar Rp700 ribu sebulannya, mereka malah mematok gaji Rp4 juta hingga Rp10 juta perbulan. Permintaan ”gaji” pengemis Bandung ini kiranya merupakan gambaran langsung pendapatan mereka selama sebulan.
Pendapatan besar para pengemis memang logis. Sekali orang iba melihat penampilan mereka, duit seribu dua ribu takkan sayang dikeluarkan olehnya. Jika dalam sehari si pengemis bertemu 100 pemberi, maka duit Rp100-200 ribu sudah aman di kantong. Ini perhitungan paling minim karena faktanya dalam sehari pengemis bisa lebih dari 100 kali diberi recehan.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan ibukota provinsi lain memungkinkan pengemis menemui ”banyak dermawan”. Saat lampu merah menyala, dalam sekali tempo akan ada puluhan mobil yang berhenti. Pengemis yang cekatan akan sanggup menjemput rezeki dari puluhan mobil itu dalam waktu 1-2 menit saja! Sekali lampu merah nilainya setara belasan hingga puluhan ribu rupiah.
Pengemis ”rumahan” juga punya kesempatan yang sama. Di daerah urban, rumah-rumah berimpitan. Dalam satu RT yang tak seberapa luas bisa menampung seratusan rumah beserta ratusan keluarga di dalamnya. Hanya berbilang belasan menit, pengemis dapat berkeliling satu RT, ”mengumpulkan” sumbangan yang jika ditotal mencapai puluhan hingga ratusan ribu rupiah.
Distorsi
Kemakmuran pengemis dimungkinkan oleh setidaknya oleh dua hal. Pertama, recehan uang yang umum diberikan pengemis sebenarnya memiliki nilai ekonomi yang cukup besar. Masyarakat tidak sayang memberi Rp1.000, Rp2.000, bahkan Rp5.000 kepada pengemis. Recehan di bawah Rp1.000 saat ini nyaris tak bernilai, dan sering diabaikan. Pengemis bahkan berani menampik pemberian recehan yang terlalu kecil.
Kedua, masyarakat Indonesia gemar berderma, terutama yang bersifat langsung ke pihak penerima. Ini alasan yang juga menjelaskan bala bantuan publik ke korban bencana sangat massif, ketimbang diperantarai lembaga pengelola atau negara. Kegemaran ini bersifat lintas kelas, kelompok menengah ke bawah seperti buruh, petani, pedagang kecil sama-sama tak sungkan memberi sumbangan pada pengemis.
Secara umum, masyarakat kita cenderung kurang percaya kalau sumbangannya dititipkan ke lembaga tertentu, termasuk bikinan negara. Syakwasangka berkembang bahwa dana-dana sumbangan publik mudah diselewengkan atau dikorupsi. Dengan langsung memberikannya pada pengemis, pemberi merasa tidak perlu khawatir lagi akan potensi penyelewengannya.
Masalah kemudian muncul, pemberian yang massif pada pengemis dan tidak terkoordinir itu mengkonsentrasikan sumbangan pada beberapa individu pengemis saja. Mereka menerima limpahan pemberian yang mendistorsi makna sumbangan itu sendiri. Sumbangan berlebih itu bertransformasi dari bantuan alakadarnya menjadi penghasilan seperti layaknya orang bekerja.
Pengemis tak lagi pengemis dalam makna tradisional. Banyak unsur drama yang menyertainya. Mereka ”berakting” demi memancing sebesar-besarnya simpati publik. Berbagai properti atau manipulasi tubuh dilakukan untuk keperluan dimaksud. Bahkan konon, lantaran merupakan sektor bisnis yang menggiurkan, para peminta-minta ini dikoordinir dan dikendalikan oleh pihak lain.
Distorsi yang tak kalah menyedihkan, pengemis mengeliminasi makna kerja keras dalam meraih peruntungan. Pengemis menyajikan fakta bahwa orang tak perlu jadi buruh, bertani, berdagang dan melakukan usaha lain supaya berpenghasilan layak. Cukup menengadahkan tangan dan sedikit mengabaikan rasa malu, mengemis justru mampu menghasilkan uang lebih banyak.
Kampanye untuk tidak memberikan uang ke pengemis memang diperlukan seperti yang dilakukan Walikota Bandung. Sementara itu, wacana kriminalisasi terhadap si pemberi uang terlalu berlebihan dan cenderung menambah persoalan. Pemerintah seharusnya lebih berpikir untuk menyediakan jalan keluar bagi kegemaran berderma warga. Saluran-saluran derma ini wajib digaransi bebas korupsi dan terlihat nyata dalam membantu kalangan masyarakat yang sedang dilanda kesusahan. (*)
0 komentar:
Post a Comment