Oleh Dede Kurniawan
Penulis adalah Mantan Aktivis IMM
Penulis adalah Mantan Aktivis IMM
Beli kucing dalam karung. Siapa yang
tidak hafal pepatah itu. Sebuah petuah tua yang tak lekang oleh zaman. Yang
perwujudannya dapat hinggap di mana saja oleh siapapun, adalah petikan
pelajaran kehati-hatian dengan sesuatu hal yang belum kita ketahui tentang
bagaimana wujud sebenarnya. Aksentuasi ini juga yang rasanya paling pas dalam
konteks demam pesta demokrasi tahun depan.
Mengenal calon pemimpin (presiden, gubernur, walikota, atau bupati), maupun wakil rakyat (DPD, DPR, DPRD provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota), menjadi 'keharusan' bagi setiap warga negara yang sudah mempunyai hak untuk memilih.
Mengapa? Karena keberlangsungan negara ini, secara formal, baik secara nasional, kewilayahan maupun setingkat kota atau kabupaten, hanya dipimpin oleh mereka yang memegang jabatan sebagai Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota.
Demikian juga, setiap warga negara hanya akan terwakili hak politik dan aspirasinya melalui wakil-wakilnya yang duduk sebagai anggota parlemen (DPD, DPR, DPRD Provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota).
Kedua hal di atas, menjelaskan dengan pasti mekanisme keterwakilan setiap warga negara, dan posisi setiap warga negara dalam sistem pemerintahan yang demokratis.
Pesta Demokrasi 2014 Diawali Pemilihan Calon Anggota Legislatif
Sebagai warga negara kita harus peduli untuk; pertama: Dengan penuh kesadaran memberikan hak pilih/suara disetiap hajatan (pesta) demokrasi itu. baik di saat Pileg, Pilpres, termasuk pilkada. Kedua: menggunakan hak pilih kita dengan mengenal lebih dalam calon pemimpin atau calon wakil rakyat pilihan kita.
Mengapa? Karena, di tangan merekalah kita menyerahkan keterwakilan kita dalam pengelolaan negara dan pemerintahan. Termasuk setiap sumberdaya (keuangan) yang digunakan untuk penyelenggaraan pembangunan. Baik itu pekerjaan fisik maupun program-program pembangunan yang menyentuh langsung ke masyarakat.
Lantas apa jadinya, jika kita salah memilih wakil rakyat? Jawabannya tentu saja seperti yang biasa jadi berita di televisi, koran, radio atau media massa lainnya. Bentuknya bisa korupsi, penyalahgunaan wewenang, kongkalingkong, hingga ada yang tidak mengerti tugasnya sebagai wakil rakyat.
Karenanya penting untuk kita –suka atau tidak suka, untuk mengenali lebih dekat profil orang yang bakal jadi wakil kita, baik untuk pusat maupun daerah. Agar hak politik kita dapat diperjuangkan dan diwakili sepenuhnya secara sadar dan benar oleh mereka.
Kenali Latar Belakang Pribadinya
Untuk mengenal siapa calon wakil kita yang akan duduk di parlemen, yang pertama tentu wajib kita kenali betul pribadinya. Siapa dan bagaimana keluarganya, termasuk dalam hal ini adalah pendidikan, karir atau pekerjaan, dan pengalamannya berorganisasi.
Dengan mengenal latar belakang pribadi calon pemimpin atau wakil rakyat, kita kemudian akan memahami sisi dalam mereka secara lebih personal, lebih dekat. Sehingga bisa saja ada semacam relasi yang seirisan secara emosional, misalnya kekerabatan, kekeluargaan, kesamaan profesi, kemampuan dasar (kompentensi) profesional si calon, hingga pada akhirnya kita dapat mengukur kadar integritasnya. Bahkan pemilih bisa melakukan cross check yang terkait pribadi si calon sebagai uji shahih.
Ingat! integritas (kejujuran) melalui keterbukaan informasi calon pemimpin secara personal jarang diketahui masyarakat, padahal inilah akar keterkaitan calon dengan masyarakatnya (pemilih). Hal ini akan membuat mereka (calon) lebih bertanggung jawab atas latar belakang pribadinya. Dan hal itu juga yang kemudian menjadi pijakan kita untuk memberikan kepercayaan (trust), bahwa sang calon benar-benar dapat kita percaya sebagai wakil kita yang sesungguhnya.
Latar belakang pribadi biasanya dapat lebih bisa menjadi ukuran yang pasti ketimbang bentuk-bentuk pencitraan yang dilakukan calon dengan menebar atribut kampanye dengan berbagai pose diri dan kalimat-kalimat janji yang sudah dipoles sana-sini. Di sini pula sesungguhnya banyak calon wakil rakyat diuji untuk berani membuka latar pribadinya sebagai pertaruhan nama baiknya kelak.
Demikian pula dengan pemilih, mereka akan lebih merasa dihargai ketika berjalin komunikasi baik secara politik maupun perasaan pribadinya. Terlebih di era Indonesia yang selera masyarakatnya sangat melodramatik, terkadang pencitraan atau isu mengaburkan pemilih dalam mengenal siapa sosok sebenarnya calon wakil mereka secara objektif.
Kenali Rekam Jejaknya di Masyarakat
Menjadi wakil rakyat, pemahamannya juga dapat berarti memegang kewenangan-kewenangan “sakti” atas nama rakyat. Dengan fungsi seperti dua mata pisau. Di mana kewenangan tersebut bisa digunakan sepenuhnya untuk menyuarakan suara dan kepentingan hajat hidup orang banyak. Sisi lain bisa pula kemudian menjual “atas nama rakyat” untuk kepentingan tertentu. Apalagi kewenangan-kewenangan itu juga terkait erat dengan penggunaan kekayaan dan keuangan negara yang notabene hasil keringat rakyat.
Bukan rahasia lagi bahwa magnet politik kekuasaan membuat orang begitu tertarik ingin mendudukinya. Dengan tujuan sebagaimana kepentingan pribadinya, termasuk hasrat ingin dikenal, disegani, hingga memperkaya diri sendiri. Untuk urusan ini pasti semua sepertinya bersepakat untuk tidak memilih calon wakil rakyat macam itu.
Karena ‘kekuasaan’ wakil rakyat seperti itulah, maka mengetahui rekam jejak (track record) si calon dalam kiprahnya di masyarakat menjadi penting. Walaupun umumnya rekam jejak ini akan dengan sendirinya mengalir lancar di masyarakat manakala orang tersebut berlaku baik dan punya karya nyata di masyarakatnya. Lantas bagaimana jadinya jika tiba-tiba ada orang dari negeri “atas berantah” bisa mengerti dan mewakili masyarakatnya, apalagi rekam jejaknya tidak diketahui oleh pemilihnya. Barangkali waktu akan menyadarkan masyarakat pemilih untuk aktif mencari tau sebelum mereka memutuskan memberikan pilihan kepada salah satu calon wakilnya.
Rekam jejak calon wakil rakyat setidaknya dapat menjadi patokan bagaimana si calon berperilaku sosial di tengah-tengah masyarakatnya. Jika baik dia, besar kemungkinan akan timbul reaksi positif, dan sebaliknya jika buruk peranannya di masyarakat maka akan buruk juga tanggapannya dari masyarakat. Hal ini umumnya dibuktikan masyarakat dengan keikutsertaan si calon dalam organisasi-organisasi sosial di masyarakat, perannya sebagai tokoh maupun posisinya sebagai panutan orang banyak.
Mengetahui Tugas dan Fungsinya sebagai Anggota Dewan
Yang paling pokok sebagai wakil rakyat di parlemen adalah setiap Anggota Dewan memahami dan mengerti tugas-tugasnya sebagai wakil rakyat. Faktanya mereka lebih mempopulerkan diri dengan menjual visi-misi yang mengawang-awang, ingin memperjuangkan ini dan itu, jika pun terpilih bagaimana cara mewujudkan janjinya banyak yang tidak paham. Akhirnya sama saja bukan, fenomena bolos sidang, interupsi ngawur, sampai tidak memiliki konsep apapun ketika berhadapan dengan fungsinya sebagai legislator menyebabkan aspirasi rakyat tak pernah diperjuangkan.
Idealnya, setiap calon wakil rakyat memahami betul kompetensi pribadinya dan pada bidang apa dia akan berjuang bagi masyrakatnya saat menjadi anggota dewan. Strategi perjuangan itulah yang kemudian harusnya disosialisasikan kepada masyarakat dan masyarakat pun tau apa yang akan dilakukan orang yang akan dipilihnya jika dia terpilih sebagai anggota dewan. Itu lebih pasti ketimbang janji-janji yang ada di alam mimpi.
Perlu diluruskan, memilih wakil rakyat untuk jadi anggota tidak sama dengan memilih (misal) pemimpin daerah. Karena hak dan kewenangan anggota dewan berbeda dengan pemimpin (eksekutif). Anggota dewan dapat dikatakan maksimal mengerjakan tugas-tugasnya sebagai dengan ukuran-ukuran seperti; mampu memberikan terobosan produk-produk hukum berupa UU atau Perda yang memihak kemaslahatan masyakarat. Kemudian dapat melakukan fungsi kontrol kepada eksekutif terhadap program-program pembangunan yang akan, sedang, atau sudah dilakukan. Mewakili aspirasi rakyat untuk disalurkan kepada saluran-saluran yang sesuai, baik dipemerintahan maupun kepada pihak lainnya.
Mematahkan Sekat Calon dan Asal Partainya
Semua partai sama kotornya! Boleh jadi sebagian besar masyarakat pemilih punya penilaian itu. Faktanya, rata-rata tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu 3 periode ke belakang masih di atas angka 60%. Artinya masih banyak juga masyarakat yang menggunakan hak pilihnya. Jangan lupa berapapun tingkat partisipasi pemilih, calon wakil rakyat sah atas suara yang diperolehnya.
Mari kita abaikan asumsi kalimat bahwa ‘semua partai sama kotornya’. Yang pasti KPU telah memulai melakukan tahapan pemilu legislatif 2014 dan saat ini sudah menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) ke publik. Pertanyaannya apakah nama-nama calon baik untuk DPD, DPR, DPRD provinsi maupun kabupaten/kota yang ada sudah dikenal? Atau sudahkah masyarakat mengenal calon-calon tersebut lebih dekat? Lantas masih adakah calon yang saat ini sudah membuka diri memperkenalkan diri sehingga masyarakat tau sosok mereka yang sebenar-benarnya?
Jika saja skenario setiap calon anggota parlemen kita disetiap tingkatan mempunyai kesadaran untuk membuka diri secara transparan, tantangan bagi masyarakat pemilih adalah melakukan dengan benar penilaian secara objektif. Sehingga benar-benar akan menghasilkan calon wakil rakyat yang bermutu. Jika sudah seperti itu bisa jadi orang tidak lagi akan melihat Siapa dicalonkan oleh Partai apa. Melainkan; saya memilih Dia karena paham betul bagaimana orangnya, dan percaya Dia bisa memegang amanat rakyat yang diwakilinya.
Demokrasi menjamin tiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk dipilih. Hal ini mendorong kompetisi perebutan kekuasaan menjadi mutlak sebagai proses demokrasi. Dan tidak disangsikan lagi bahwasanya fenomena politik uang masih mewarnai praktik kita dalam berdemokrasi (pemilu).
Dalam posisi itu sesungguhnya hanya kekuatan moral dan mata hati rakyat yang bisa menentukan siapa calon terbaik menurut mereka. Itupun berlaku sepanjang rakyat sadar bahwa mereka mengenal betul calonnya dan tidak mau terbeli dengan politik uang. Hal ini penting setidaknya sebagai tanggungjawab bagi kaum yang Beriman, sehingga memiliki wakil rakyat yang jujur yang tidak akan melakukan apa yang populer dengan istilah KKN. (*)
Mengenal calon pemimpin (presiden, gubernur, walikota, atau bupati), maupun wakil rakyat (DPD, DPR, DPRD provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota), menjadi 'keharusan' bagi setiap warga negara yang sudah mempunyai hak untuk memilih.
Mengapa? Karena keberlangsungan negara ini, secara formal, baik secara nasional, kewilayahan maupun setingkat kota atau kabupaten, hanya dipimpin oleh mereka yang memegang jabatan sebagai Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota.
Demikian juga, setiap warga negara hanya akan terwakili hak politik dan aspirasinya melalui wakil-wakilnya yang duduk sebagai anggota parlemen (DPD, DPR, DPRD Provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota).
Kedua hal di atas, menjelaskan dengan pasti mekanisme keterwakilan setiap warga negara, dan posisi setiap warga negara dalam sistem pemerintahan yang demokratis.
Pesta Demokrasi 2014 Diawali Pemilihan Calon Anggota Legislatif
Sebagai warga negara kita harus peduli untuk; pertama: Dengan penuh kesadaran memberikan hak pilih/suara disetiap hajatan (pesta) demokrasi itu. baik di saat Pileg, Pilpres, termasuk pilkada. Kedua: menggunakan hak pilih kita dengan mengenal lebih dalam calon pemimpin atau calon wakil rakyat pilihan kita.
Mengapa? Karena, di tangan merekalah kita menyerahkan keterwakilan kita dalam pengelolaan negara dan pemerintahan. Termasuk setiap sumberdaya (keuangan) yang digunakan untuk penyelenggaraan pembangunan. Baik itu pekerjaan fisik maupun program-program pembangunan yang menyentuh langsung ke masyarakat.
Lantas apa jadinya, jika kita salah memilih wakil rakyat? Jawabannya tentu saja seperti yang biasa jadi berita di televisi, koran, radio atau media massa lainnya. Bentuknya bisa korupsi, penyalahgunaan wewenang, kongkalingkong, hingga ada yang tidak mengerti tugasnya sebagai wakil rakyat.
Karenanya penting untuk kita –suka atau tidak suka, untuk mengenali lebih dekat profil orang yang bakal jadi wakil kita, baik untuk pusat maupun daerah. Agar hak politik kita dapat diperjuangkan dan diwakili sepenuhnya secara sadar dan benar oleh mereka.
Kenali Latar Belakang Pribadinya
Untuk mengenal siapa calon wakil kita yang akan duduk di parlemen, yang pertama tentu wajib kita kenali betul pribadinya. Siapa dan bagaimana keluarganya, termasuk dalam hal ini adalah pendidikan, karir atau pekerjaan, dan pengalamannya berorganisasi.
Dengan mengenal latar belakang pribadi calon pemimpin atau wakil rakyat, kita kemudian akan memahami sisi dalam mereka secara lebih personal, lebih dekat. Sehingga bisa saja ada semacam relasi yang seirisan secara emosional, misalnya kekerabatan, kekeluargaan, kesamaan profesi, kemampuan dasar (kompentensi) profesional si calon, hingga pada akhirnya kita dapat mengukur kadar integritasnya. Bahkan pemilih bisa melakukan cross check yang terkait pribadi si calon sebagai uji shahih.
Ingat! integritas (kejujuran) melalui keterbukaan informasi calon pemimpin secara personal jarang diketahui masyarakat, padahal inilah akar keterkaitan calon dengan masyarakatnya (pemilih). Hal ini akan membuat mereka (calon) lebih bertanggung jawab atas latar belakang pribadinya. Dan hal itu juga yang kemudian menjadi pijakan kita untuk memberikan kepercayaan (trust), bahwa sang calon benar-benar dapat kita percaya sebagai wakil kita yang sesungguhnya.
Latar belakang pribadi biasanya dapat lebih bisa menjadi ukuran yang pasti ketimbang bentuk-bentuk pencitraan yang dilakukan calon dengan menebar atribut kampanye dengan berbagai pose diri dan kalimat-kalimat janji yang sudah dipoles sana-sini. Di sini pula sesungguhnya banyak calon wakil rakyat diuji untuk berani membuka latar pribadinya sebagai pertaruhan nama baiknya kelak.
Demikian pula dengan pemilih, mereka akan lebih merasa dihargai ketika berjalin komunikasi baik secara politik maupun perasaan pribadinya. Terlebih di era Indonesia yang selera masyarakatnya sangat melodramatik, terkadang pencitraan atau isu mengaburkan pemilih dalam mengenal siapa sosok sebenarnya calon wakil mereka secara objektif.
Kenali Rekam Jejaknya di Masyarakat
Menjadi wakil rakyat, pemahamannya juga dapat berarti memegang kewenangan-kewenangan “sakti” atas nama rakyat. Dengan fungsi seperti dua mata pisau. Di mana kewenangan tersebut bisa digunakan sepenuhnya untuk menyuarakan suara dan kepentingan hajat hidup orang banyak. Sisi lain bisa pula kemudian menjual “atas nama rakyat” untuk kepentingan tertentu. Apalagi kewenangan-kewenangan itu juga terkait erat dengan penggunaan kekayaan dan keuangan negara yang notabene hasil keringat rakyat.
Bukan rahasia lagi bahwa magnet politik kekuasaan membuat orang begitu tertarik ingin mendudukinya. Dengan tujuan sebagaimana kepentingan pribadinya, termasuk hasrat ingin dikenal, disegani, hingga memperkaya diri sendiri. Untuk urusan ini pasti semua sepertinya bersepakat untuk tidak memilih calon wakil rakyat macam itu.
Karena ‘kekuasaan’ wakil rakyat seperti itulah, maka mengetahui rekam jejak (track record) si calon dalam kiprahnya di masyarakat menjadi penting. Walaupun umumnya rekam jejak ini akan dengan sendirinya mengalir lancar di masyarakat manakala orang tersebut berlaku baik dan punya karya nyata di masyarakatnya. Lantas bagaimana jadinya jika tiba-tiba ada orang dari negeri “atas berantah” bisa mengerti dan mewakili masyarakatnya, apalagi rekam jejaknya tidak diketahui oleh pemilihnya. Barangkali waktu akan menyadarkan masyarakat pemilih untuk aktif mencari tau sebelum mereka memutuskan memberikan pilihan kepada salah satu calon wakilnya.
Rekam jejak calon wakil rakyat setidaknya dapat menjadi patokan bagaimana si calon berperilaku sosial di tengah-tengah masyarakatnya. Jika baik dia, besar kemungkinan akan timbul reaksi positif, dan sebaliknya jika buruk peranannya di masyarakat maka akan buruk juga tanggapannya dari masyarakat. Hal ini umumnya dibuktikan masyarakat dengan keikutsertaan si calon dalam organisasi-organisasi sosial di masyarakat, perannya sebagai tokoh maupun posisinya sebagai panutan orang banyak.
Mengetahui Tugas dan Fungsinya sebagai Anggota Dewan
Yang paling pokok sebagai wakil rakyat di parlemen adalah setiap Anggota Dewan memahami dan mengerti tugas-tugasnya sebagai wakil rakyat. Faktanya mereka lebih mempopulerkan diri dengan menjual visi-misi yang mengawang-awang, ingin memperjuangkan ini dan itu, jika pun terpilih bagaimana cara mewujudkan janjinya banyak yang tidak paham. Akhirnya sama saja bukan, fenomena bolos sidang, interupsi ngawur, sampai tidak memiliki konsep apapun ketika berhadapan dengan fungsinya sebagai legislator menyebabkan aspirasi rakyat tak pernah diperjuangkan.
Idealnya, setiap calon wakil rakyat memahami betul kompetensi pribadinya dan pada bidang apa dia akan berjuang bagi masyrakatnya saat menjadi anggota dewan. Strategi perjuangan itulah yang kemudian harusnya disosialisasikan kepada masyarakat dan masyarakat pun tau apa yang akan dilakukan orang yang akan dipilihnya jika dia terpilih sebagai anggota dewan. Itu lebih pasti ketimbang janji-janji yang ada di alam mimpi.
Perlu diluruskan, memilih wakil rakyat untuk jadi anggota tidak sama dengan memilih (misal) pemimpin daerah. Karena hak dan kewenangan anggota dewan berbeda dengan pemimpin (eksekutif). Anggota dewan dapat dikatakan maksimal mengerjakan tugas-tugasnya sebagai dengan ukuran-ukuran seperti; mampu memberikan terobosan produk-produk hukum berupa UU atau Perda yang memihak kemaslahatan masyakarat. Kemudian dapat melakukan fungsi kontrol kepada eksekutif terhadap program-program pembangunan yang akan, sedang, atau sudah dilakukan. Mewakili aspirasi rakyat untuk disalurkan kepada saluran-saluran yang sesuai, baik dipemerintahan maupun kepada pihak lainnya.
Mematahkan Sekat Calon dan Asal Partainya
Semua partai sama kotornya! Boleh jadi sebagian besar masyarakat pemilih punya penilaian itu. Faktanya, rata-rata tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu 3 periode ke belakang masih di atas angka 60%. Artinya masih banyak juga masyarakat yang menggunakan hak pilihnya. Jangan lupa berapapun tingkat partisipasi pemilih, calon wakil rakyat sah atas suara yang diperolehnya.
Mari kita abaikan asumsi kalimat bahwa ‘semua partai sama kotornya’. Yang pasti KPU telah memulai melakukan tahapan pemilu legislatif 2014 dan saat ini sudah menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) ke publik. Pertanyaannya apakah nama-nama calon baik untuk DPD, DPR, DPRD provinsi maupun kabupaten/kota yang ada sudah dikenal? Atau sudahkah masyarakat mengenal calon-calon tersebut lebih dekat? Lantas masih adakah calon yang saat ini sudah membuka diri memperkenalkan diri sehingga masyarakat tau sosok mereka yang sebenar-benarnya?
Jika saja skenario setiap calon anggota parlemen kita disetiap tingkatan mempunyai kesadaran untuk membuka diri secara transparan, tantangan bagi masyarakat pemilih adalah melakukan dengan benar penilaian secara objektif. Sehingga benar-benar akan menghasilkan calon wakil rakyat yang bermutu. Jika sudah seperti itu bisa jadi orang tidak lagi akan melihat Siapa dicalonkan oleh Partai apa. Melainkan; saya memilih Dia karena paham betul bagaimana orangnya, dan percaya Dia bisa memegang amanat rakyat yang diwakilinya.
Demokrasi menjamin tiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk dipilih. Hal ini mendorong kompetisi perebutan kekuasaan menjadi mutlak sebagai proses demokrasi. Dan tidak disangsikan lagi bahwasanya fenomena politik uang masih mewarnai praktik kita dalam berdemokrasi (pemilu).
Dalam posisi itu sesungguhnya hanya kekuatan moral dan mata hati rakyat yang bisa menentukan siapa calon terbaik menurut mereka. Itupun berlaku sepanjang rakyat sadar bahwa mereka mengenal betul calonnya dan tidak mau terbeli dengan politik uang. Hal ini penting setidaknya sebagai tanggungjawab bagi kaum yang Beriman, sehingga memiliki wakil rakyat yang jujur yang tidak akan melakukan apa yang populer dengan istilah KKN. (*)
0 komentar:
Post a Comment