Urgensi Pemindahan Ibu Kota Negara



Oleh Ferry Ferdiansyah
Penulis merupakan Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Mercu Buana Jakarta
Program Studi Magister Komunikasi

Pasca melakukan kunjungan kenegaraan ke Kazakhstan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencuatkan kembali isu pemindahan ibu kota. Pernyataan ini diutarakanya setelah dirinya mengamati kesuksesan pemindahan ibu kota yang dilakukan Kazakhstan dari Almaty menjadi Astana sejak tahun 1997. Keberhasilan ini, terlihat adanya kemajuan yang sangat singnifikan. Kota yang berpopulasi 775.800 orang dengan luas wilayah 722 kilometer persegi, telah menjadi kota terbesar kedua di negara Asia Tengah. Ini menunjukkan negara yang merdeka pada 16 Desember 1991 berhasil dalam memindahkan ibu kota negaranya.
  
Sangat wajar, keberhasilan ini membuahkan kekaguman kepala negara. Dalam pernyataannya SBY mengatakan, jika tidak ada solusi tepat untuk atasi permasalahan Jakarta dan ada kepentingan mendesak, tidak keliru jika dipikirkan bangun pusat pemerintahan baru. Apa yang disampaikan Presiden RI, dilihat dari realitas yang ada tak berlebihan. Sebagai ibu kota negara, Jakarta memiliki kelebihan dibandingan dengan daerah lainnya di Indonesia.
   
Pembangunan yang begitu pesat di Jakarta menjadikan daya tarik tersendiri bagi warga lainnya yang berada di luar Jakarta. Selain sebagai kota pusat perekonomian dan pemerintahan negara ini, adanya anggapan Jakarta bisa memberikan kehidupan yang layak atau bahkan menjadi impian bagi sebagian warga di Indonesia untuk didatangi, bukan hanya  sekadar mencari hiburan semata, tetapi sebagai tempat mencari nafkah.
  
Efeknya, dapat terlihat dari kehidupan sehari-hari, bukan sekadar macet dan banjir menjadi problem utama bagi ibukota negara khatulistiwa ini, kekumuhan pun nampak disudut-sudut ibu kota. Setiap musim hujan datang, warga harus bersiap diri untuk menghadapi banjir. Seolah kegiatan ini telah menjadi rutinitas tahunan yang tidak dapat ditolak. Sampai saat ini pun penanganan masalah banjir ini belum dapat terselesaikan meski telah berganti kepemimpinan kepala daerah.
  
Masalah kemacetan, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kota Jakarta. Untuk mengatasinya, segala daya upaya terus diterapkan oleh pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dari penerapan peraturan 3 in 1 hingga diadakanya bus way, namun itu semua bukan lah solusi yang dapat menyelesaikan masalah.
    
Secara keseluruhan, Indonesia telah menjadi negara ketiga yang paling banyak menggunakan kendaraan bermotor setelah Amerika dan China. Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia telah mencapai 107.226.572 unit. Dengan rincian, mobil sebanyak 20.158.595 unit dan sepeda motor 87.067.796 unit. Kendaraan yang beroperasi di Amerika berjumlah 246,56 juta unit dan di China 154,65 juta unit.
  
Tak mengherankan, Jakarta telah menjadi kota besar dengan tingkat polusi udara terburuk ketiga di dunia, setelah Mexico City (Meksiko) dan Bangkok (Thailand). Penyumbang polutan terbesar adalah sektor transportasi yang mencapai 70 persen. Polutan dihasilkan oleh asap kendaraan bermotor yang jumlahnya mencapai jutaan unit di Ibu Kota saat ini.
  
Sepanjang pengamatan Yudhoyono, selama di Astana tata kota yang rapi dan disiplin masyarakat membuat kota baru ini ideal sebagai ibukota. Luas daratan Republik Kazakhstan sekitar 2 juta meter persegi dengan populasi sebesar 19 juta jiwa. Dengan perbandingan jumlah penduduk dan luas daratan seperti di atas, banyak yang bisa dilakukan pemerintah, termasuk memindahkan ibukota. Sementara Indonesia yang memiliki luas total 6 juta meter persegi, hanya sepertiganya (2 juta meter persegi) dan jumlah penduduk diperkirakan mencapai 250 juta jiwa (puluhan kali lipat penduduk Kazakhstan) hanya ditampung di tanah yang luasnya sama dengan Kazakhstan.
  
Sistem drainase yang sangat menghawatirkan dan ditemukanya sejumlah pompa, yang tak bekerja maksimal, dalam mengimbangi tingginya aliran air yang hendak dipindahkan ke Kanal Banjir Barat. Tak mengherankan volume 13 sungai yang melintas meningkat, dan menyebabkan jebolnya tanggul di beberapa  wilayah Jakarta. Fakta adanya gorong-gorong yang hanya berukuran 60 sentimeter, dan belum pernah dibangun lagi semenjak tahun 1970-an. Menunjukkan buruknya fasilitas drainase di kota ini.
  
Tak kalah hebat, meningkatnya kondisi tanah yang jenuh, akhirnya hanya 15 persen yang mampu terserap dan sisanya tumpah di permukaan.  Seperti penulis ketahui, daya tampung 13 sungai yang terdapat di Jakarta mencapai 8 juta meter kubik, sedangkan Kanal Banjir Barat (KBB) hanya sanggup menampung volume air 500.000 meter kubik per detik.
  
Dapat dibayangkan, luas Jakarta yang mencapai 626 kilometer persegi dikali curah hujan yang mencapai sekitar 95 milimeter. Hasil ini,  menjadi hantu yang paling menakutkan bagi warga di ibu kota negara ini. Jelas ini telah menjadi problem pembangunan infrastruktur Indonesia, termasuk pemindahan ibukota. Tanpa banyak bicara, sejak empat tahun lalu, Presiden SBY sudah merancang rencana pemindahan ibukota. Strategi silent movement ini dipilih agar ide dan pemikiran Presiden tidak menimbulkan polemik.
  
Hal ini karena sistem politik di Indonesia yang terbiasa gaduh, sehingga apapun policy yang dikeluarkan pemerintah dianggap salah. Pemerintah mewacanakan pemindahan ibukota pasti akan dikritik, lalu kalau hanya diam saja dan menunggu nasib Jakarta, juga akan di-challenge oleh politisi dan pengamat.
  
Namun Presiden SBY telah menyiapkan plan, melihat kondisi ke depan, Jakarta 10 tahun mendatang. Dari  segi ekonomi dapat dipastikan saat ini kondisi perekonomian nasional telah cukup kuat, dan tidak ada solusi yang bisa mengatasi masalah Jakarta, maka opsi pemindahan ibu kota harus dieksekusi. Opsi pemindahan ibukota sendiri bukan sesuatu yang baru. Banyak negara yang sudah melakukannya dan sukses. Selain Almaty ke Astana di Kazakhstan, Australia, Malaysia, Turki, bahkan Burma sudah melakukannya.
  
Keberhasilan negara pecahan Rusia dalam menata kotanya menjadi lebih indah dan tertib tak terlepas dari komitemen warganya dalam hidup disiplin. Sewajarnya kita mencontoh apa yang terjadi negara tersebut dalam membangun negaranya bukan hanya memberikan kritik tanpa solusi yang pasti. Campur tangan negara sangat dibutuhkan, tujuannya untuk mengontrol guna menjaga keseimbangan antara masyarakat dan lingkungannya. Setidaknya, komitmen politik dalam melaksanakan agenda pembangunan ekonomi nasional berkelanjutan yang ramah lingkungan dan berkeadilan.
  
Memindahkan Ibu Kota Negara, memang tak semudah membalikan telapak tangan. Memindahkan ibukota dan pusat pemerintahan bukan hanya perkara memindahkan kantor pemerintahan, tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana memindahkan aparat-aparat dan perangkat-perangkat pemerintahan. Belum lagi pertimbangan secara geografis dan manfaat ekonomis. Melihat kondisi ibu kota negara yang kian carut marut, dipastikan SBY telah memperhitungkan dan mempertimbangan efek dari rencana ini, diantaranya masalah anggaran untuk merealisasikan ide pemindahan ibu kota dan pusat pemerintahan. (*)


Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Post a Comment