Bank dan Ironi Pengentasan Kemiskinan

Oleh Mohammad Takdir Ilahi

Staf Riset The Mukti Ali Institute Yogyakarta

 

MELUASNYA angka kemiskinan tentu tidak bisa lepas dari krisis ekonomi yang masih menimpa bangsa Indonesia. Ini karena, kemiskinan selalu berkaitan dengan kebutuhan ekonomi dan pemenuhan hak hidup masyarakat secara luas. Kebutuhan ekonomi dalam menjalani kehidupan sangat menentukan terhadap peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran setiap manusia agar tetap bertahan di tengah kompleksitas persoalan bangsa ini.

  
Dalam mengurangi angka kemiskinan, terdapat banyak lembaga yang berperan penting untuk menopang kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Salah satu lembaga itu adalah dunia perbankan yang sudah lama berperan dalam menopang perekonomian nasional. Terkait dengan potret kemiskinan di negara kita, bagaimana sebenarnya program perbankan nasional dalam rangka mengentaskan kemiskinan? Apakah sudah ada keseriusan dari pihak institusi perbankan sebagai agent of development dalam menciptakan program yang dapat menyentuh secara keseluruhan terhadap rakyat miskin? 

Sebagai institusi yang bertugas langsung mengelola keuangan, bank seharusnya menyadari akan peran dan fungsinya tersebut. Meskipun kita sadari bahwa bank bukan satu-satunya lembaga yang bertugas untuk mengatasi ironi kemiskinan yang semakin merajalela. Akan tetapi, hal itu bukan alasan bagi institusi bank untuk mengelak terhadap fungsi yang diembannya, karena bank sendiri berperan mempermudah masyarakat untuk melakukan aktifitas ekonomi secara efesien dan efektif, terutama dalam memberikan jasa layanan yang dapat membangkitkan gairah ekonomi masyarakat itu sendiri. (Tim Khanata, 2004: 75).

Kalau kita mau jujur, program perbankan nasional yang telah didesain, ternyata masih belum menunjukkan kinerja yang optimal sehingga makin memperlambat upaya kita dalam membantu peningkatan kesejahteraan rakyat miskin. Program perkreditan seperti Kredit Usaha Kecil (KUK) dan Kredit Usaha Tani (KUT) yang terkesan diperuntukkan bagi kalangan miskin, kenyataanya masih sangat terbatas karena benturan persyaratan formal perbankan. Kita bisa memahami bahwa bank dalam keadaan dilema untuk mengoptimalkan sistem perkreditan yang dijadikan pendekatan dalam program pengentasan kemiskinan. Pada satu sisi, kita harus bisa mengatasi kemiskinan dengan berbagai cara yang ampuh demi meningkatkan taraf ekonomi masyarakat secara keseluruhan. 

Salah satu cara untuk memecahkan persoalan yang pelik itu, yaitu pembiayaan masyarakat miskin pengusaha mikro, adalah melalui keuangan mikro. Di Indonesia sendiri hal itu bukan barang baru. Bank Rakyat Indonesia yang didirikan sejak 100 tahun lalu pun sudah mengarah seperti itu. Dalam lingkup dunia, pendekatan kredit mikro mendapatkan momentum baru, yaitu dengan adanya Microcredit Summit (MS) yang diselenggarakan di Washington tanggal 2-4 Februari 1997.

Keuangan mikro berfungsi memberikan dukungan modal bagi pengusaha mikro (microenterprises) untuk meningkatkan usahanya, setelah itu usaha mereka akan berjalan lebih lancar dan lebih “besar”. Kebutuhan dana bagi microenterprises setelah mendapat dukungan modal itu akan meningkat, sehingga dibutuhkan Lembaga Keuangan Masyarakat (Mikro) yang dapat secara terus-menerus melayani kebutuhan mereka. Dalam mengembangkan keuangan mikro untuk melayani masyarakat miskin (economically active poor) tersebut, terdapat beberapa alternatif yang bisa dilakukan:

Pertama, Banking of the poor. Bentuk ini mendasarkan diri pada saving led microfinance, di mana mobilisasi keuangan mendasarkan diri dari kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat miskin itu sendiri. Bentuk ini juga mendasarkan pula atas membership base, di mana keanggotaan dan partisipasinya terhadap kelembagaan mempunyai makna yang penting. Bentuk-bentuk yang telah terlembaga di masyarakat antara lain : Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Kelompok Usaha Bersama, Credit Union (CU), Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Bentuk pertama (Banking of the poor) menekankan pada aspek pendidikan bagi masyarakat miskin, serta melatih kemandirian.

Kedua, Banking with the poor. Bentuk ini mendasarkan diri dari memanfaatkan kelembagaan yang telah ada, baik kelembagaan (organisasi) sosial masyarakat yang mayoritas bersifat informal atau yang sering disebut Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) serta lembaga keuangan formal (bank). Kedua lembaga yang nature-nya berbeda itu, diupayakan untuk diorganisir dan dihubungkan atas dasar semangat simbiose mutualisme, atau saling menguntungkan. Pihak bank akan mendapat nasabah yang makin banyak (outreaching), sementara pihak masyarakat miskin akan mendapat akses untuk mendapatkan financial support. Bentuk yang kedua (Banking with the poor) lebih menekankan pada fungsi penghubung (intermediary) dan memanfaatkan kelembagaan yang telah ada.

Ketiga, Banking for the poor. Bentuk ini mendasarkan diri atas credit led institution di mana sumber dari financial support terutama bukan diperoleh dari mobilisasi tabungan masyarakat miskin, namun memperoleh dari sumber lain yang memang ditujukan untuk masyarakat miskin. Dengan demikian tersedia dana cukup besar yang memang ditujukan kepada masyarakat miskin melalui kredit. Contoh bentuk ini adalah : Badan Kredit Desa (BKD), Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), Grameen Bank, ASA, dan lain sebagainya. Bentuk yang ketiga ini (Banking for the poor) menekankan pada penggalangan resources yang dijadikan modal (capital heavy), yang ditujukan untuk masyarakat miskin.

Itulah potret perbankan nasional dalam melakukan usaha-usaha maksimal demi mengentaskan kemiskinan, namun hal itu masih belum cukup untuk mengurangi beban masyarakat miskin dan belum menyentuh secara keseluruhan program yang telah dilaksanakan. 

Bila kita bercermin pada program Bank Dunia yang menjadi sentrum peminjaman modal bagi negara-negara berkembang, maka kita akan semakin terbelalak dengan realitas yang terjadi di tubuh Bank Dunia. Ini dibuktikan dengan laporan Human Development Report, yang dikeluarkan oleh UNDP, sebesar 1,3 miliar penduduk di negara berkembang hidup dalam kemiskinan, dan hampir 800 juta di antaranya menderita kurang pangan. Laporan yang sama memperlihatkan perbedaan tingkat laju pertumbuhan di suatu negara, antar-negara, dan antara laki-laki dan perempuan. (*)





Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Post a Comment