Biaya Mahal Pendidikan Tinggi

Oleh Prof Dr Ir Djoko Santoso, MSc.
Rektor ITB dan Ketua Forum Rektor Indonesia

MASALAH biaya pendidikan masih terus menjadi sorotan. Sebagai contoh, tentang komersialisasi dan liberalisasi. Patut kita pahami bersama bahwa kalau kita melihat biaya pendidikan tinggi, ternyata memang tidaklah sederhana. Biaya universitas pasti tinggi karena sebagai learning center yang science center, dana yang dibutuhkan untuk satu universitas sangat besar.

Mengapa hal ini terjadi? Karena yang dikelola oleh satu universitas sangat kompleks, yaitu ilmu pengetahuan, dosen/pakar, sumberdaya manusia pendukung, mahasiswa, sarana prasarana akademik maupun pendukung, program akademik, dan informasi akademik. Sesudah melalui proses yang mahal universitas yang harus dihasilkan oleh suatu perguruan tinggi ialah sumberdaya manusia profesional/pakar dan ilmu pengetahuan baru.

Di samping hasil dari perguruan tinggi yang berupa ilmu pengetahuan, dihasilkan pula sumberdaya manusia yang memiliki potensi untuk mendayagunakan negara. Oleh karena itu, sedemikian vitalnya kepentingan perguruan tinggi. Dalam prosesnya perguruan tinggi menjadi tempat terakhir untuk restrukturisasi, rekonstruksi, reparasi, maupun tindakan lain. Dalam arti untuk membuat agar pengalaman proses pendidikan yang sebelumnya telah dialami menjadi lebih benar.

Semua yang dikelola oleh perguruan tinggi harus ditingkatkan terus kualitasnya dari tahun ke tahun agar mampu bersaing terhadap kemajuan zaman ini. Tentu saja akan menyerap dana yang sangat besar. Sebagai contoh, untuk mengelola kemampuan dosen sebagai pakar harus ditingkatkan secara berkelanjutan agar sesuai dengan zamannya dan memiliki standar (sebaiknya global).

Cara untuk meningkatkan kemampuannya melalui berbagai program, seperti pendidikan lanjut, pelatihan, lokakarya, dan seminar sebagai modal pengembangan jejaring di satu sisi dan tukar-menukar informasi hasil riset. Pengelolaan dosen saja tentu sudah menyerap dana yang tinggi.

Patut kita catat bahwa kalau dosen tidak dikelola dengan baik maka ilmu pengetahuan yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk mahasiswa kualitasnya tidak memadai. Contoh lain ialah kegiatan riset yang langsung terkait dengan kegiatan dosen dan pada tingkat pascasarjana melibatkan mahasiswa akan menyerap dana besar, bahkan tiada ujung akhirnya.

Peningkatan kemampuan dosen merupakan modal besar bagi peningkatan daya saing perguruan tinggi. Pengelolaan mahasiswa secara proporsional sesuai dengan keahlian yang diinginkannya juga bukan barang murah karena sarana pembelajaran harus selalu disesuaikan. Proses pendidikan di pendidikan tinggi mengacu kepada kegiatan Tri Dharma.

Kegiatan pendidikan harus diperbarui dari waktu ke waktu sesuai dengan kemajuan zaman yang tentunya harus didukung oleh kegiatan riset termasuk pengabdian kepada masyarakat. Untuk memperbaharui seluruh proses kegiatan dibutuhkan biaya yang tidak murah. Ketersediaan dana sangat penting bagi pengelolaan universitas. Karena itu, sumber dana untuk penyelenggaraannya harus jelas.

Secara garis besar dana untuk mengoperasikan universitas dapat berasal dari pemerintah dan dana masyarakat. Dana pemerintah dapat dibagi dalam dana rutin dan dana kompetitif, sementara dana masyarakat dapat dibagi menjadi dana dari uang sekolah (dan yang terkait) serta dana riset dan pengembangan (kerja sama) yang sifatnya kompetitif dan berbagai sumbangan berbagai pihak.

Dana masyarakat selain uang sekolah yang berasal dari mahasiswa, dana masyarakat lainnya diusahakan oleh universitas. Setiap universitas harus memolakan pendapatan dananya untuk kegiatannya sesuai dengan renstra maupun rencana kerja dan anggaran tahunan masing-masing. Keuangan akan sangat menentukan mutu universitas, akuntabilitas akademik, dan keuangan menjadi keharusan untuk dijalankan.

Atasi biaya tinggi
Sebagaimana telah disebutkan, dana untuk mengoperasikan universitas dapat berasal dari pemerintah dan masyarakat. Masalahnya, bagaimanakah proporsi yang baik? Jika kita mengkaji berbagai universitas di dunia tidak ada proporsi yang baku. Sistem universitas di Eropa hingga saat ini masih mengandalkan dana masyarakat meskipun mulai bergeser pada sistem Amerika Serikat. Sistem di Amerika Serikat lebih mengandalkan dana masyarakat. Australia yang tadinya mengacu kepada sistem Eropa saat ini pun telah bergeser pada sistem AS.
Bagaimanakah untuk Indonesia? Sebagaimana universitas yang ada di negara-negara maju, pendanaan universitas akan tergantung pada asal pembentukannya, yaitu universitas yang didirikan oleh pemerintah (milik negara) dan universitas yang didirikan oleh swasta (milik swasta). Jika universitas didirikan oleh pemerintah maka wajar pemerintah memberikan dana secara rutin.

Di negara maju mereka menyebutnya sebagai government grant atau government appropriation. Dana yang berasal dari pemerintah untuk universitas yang didirikan oleh pemerintah ada yang mendekati 100 persen. Tetapi, dengan adanya sistem badan hukum milik negara untuk universitas proporsinya ada yang sudah 30 persen.

Jika kita bandingkan dengan universitas di AS ternyata dana pemerintah ada pada kisaran 10 persen. Sebagai contoh Pennsylvania State University (RKAT 2007) proporsi dana untuk operasionalnya 10 persen dari pemerintah, uang sekolah mahasiswa 32 persen, sisanya berasal dari kegiatan riset, pengembangan, dan dukungan kegiatan unit komersial universitas tersebut.

University Sydney (2007) dana dari pemerintah 15 persen dan dari uang sekolah 29 persen. Lainnya berasal dari kegiatan riset, pengembangan, dan dukungan kegiatan unit komersial universitas tersebut. Di Universitas California San Diego berdasarkan informasi langsung dari Presiden Universitas dana yang berasal dari pemerintah 12 persen.

Bagaimanakah dengan di Indonesia? Di Indonesia proporsi dananya pasti bervariasi, ada yang menuju 100 persen berasal dari pemerintah. Contoh kasus ITB tanpa dimasukkan kegiatan dari berbagai unit komersialnya (perusahaan) proporsinya 37 persen berasal dari pemerintah dan 37 persen dari dana pemerintah.

Jika dimasukkan dana kegiatan komersial proporsinya menjadi 23 persen dana pemerintah dan 26 persen dari uang sekolah, dan sisanya seluruh aktivitas dosen dalam kerangka riset, pengembangan, ataupun industrial exposure, dalam kerangka kegiatan ITB sebagai universitas riset dan sebagian kecil sumbangan-sumbangan lain.

Bagaimana pun dan apa pun bentuk proporsinya universitas tidak akan pernah menjadi komersial jika seluruh pendapatan digunakan untuk operasi demi peningkatan mutu, termasuk membantu mahasiswa yang tidak mampu. Asas ini dikenal sebagai nirlaba. Dalam konsep ini tidak boleh hasil dari kegiatan universitas diberikan kepada pihak lain karena ini akan menjadikan universitas sebagai bahan komersial atau komoditas.

Kebijakan ini jika dilakukan dengan baik dan benar dapat menyelesaikan berbagai masalah secara nasional. Misalnya mengatasi uang sekolah bagi masyarakat yang kurang kemampuan finansialnya dari sumber dana masyarakat.

Selain dari kegiatan riset, pengembangan, dan industri, menghimpun dana dari masyarakat melalui mahasiswa yang mampu membayar seluruh kebutuhan pendidikannya akan sangat membantu operasi. Subsidi silang baru terjadi jika mahasiswa membayar melebihi dana yang dibutuhkannya secara penuh untuk pendidikannya. Dari sisi yang lain universitas harus dapat mengumpulkan dana dari berbagai kegiatan riset, pengembangan, dan industri.

Dana ini juga bisa untuk peningkatan kapasitas dosen yang erat terkait dengan peningkatan mutu universitas. Kapasitas dosen modal awal melaksanakan proses pembelajaran. Dalam rencana kerja dan anggaran tahunan universitas salah satu dana operasionalnya ialah beasiswa yang akan memberikan bantuan uang sekolah maupun biaya lainnya.

Mahasiswa dapat dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu mahasiswa membayar penuh, membayar lebih secara sukarela, dan bersubsidi. Biasanya untuk universitas di negara maju proporsi mahasiswa yang bersubsidi jumlah proporsinya akan terbesar. (*)



Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Post a Comment