Anda menulis tentunya untuk diterbitkan. Suatu hal yang menyenangkan bila naskah yang Anda tulis, yang dengan sabar dan tekun Anda tulis kemudian menjadi sebuah buku dan dibaca orang. Sebelum diterbitkan, dalam menulis ada yang paling perlu Anda perhatikan. Sebab didalam tulisan terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan memahami motivasi Anda menulis, seperti menulis untuk media cetak, menulis buku untuk penerbit, menulis buku indie atau self-publish, dan lain sebagainya.
Persoalan visi, bisa pula disebut motivasi dalam menulis memuat banyak perbedaan. Ada yang menggunakan sastra sebagai salah satu alat bagi tujuan perubahan sosial. Ada juga yang menulis suatu karya sastra karena suka menulis, sebuah seni menuangkan gagasan untuk mematangkan dan mendewasakan diri, atau sebutlah tindakan seorang penulis yang menjunjung tinggi atau memuliakan estetika bahasa.
Kalau berniat agar karya-karya Anda laku dijual harus memiliki strategi mengurangi penolakan. Sebab, penulis mana pun tak suka mengalami hal ini, walau pada kenyataannya hampir semua penulis pernah mengalami penolakan. Inilah sebuah hal yang sering meresahkan penulis muda. Salah satu cara Anda mengurangi penolakan adalah membuat proposal sebelum naskah sebuah buku diajukan. Atau, kalau bosan ditolak dan masih ingin tetap menulis, Anda bisa banting stir merambah bidang penulisan lain yang lebih mendatangkan keuntungan.
Mari kita berpikir realistis. Tak jarang, banyak orang meninggalkan dunia penulisan gara-gara tak memiliki motivasi yang jelas dan terencana, lalu putus asa. Bila menulis Anda rencanakan sebagai sarana meraih penghasilan, maka Anda perlu menilik berbagai kemungkinan dan mengikuti trend yang membuat tulisan itu laku dijual. Bila Anda menulis hanya untuk kesenangan dan aktualisasi diri, tak perlu mencoba-coba menjual tulisan.
Sejarah perfilman dunia mencatat, Lumiere bersaudara dari Prancis sebagai dua orang penting. Mereka tercatat sebagai penampil film perdana. Produksi film pertama mereka barang kali sama sekali tak menarik bagi kita saat ini. Mau tahu kenapa? Jawabnya sederhana saja. Sebab film itu berupa rekaman kereta api yang sedang berjalan. Nah, arah jalan kereta api itu mendekati kamera. Namun, tahukah Anda apa yang terjadi pada 32 penonton pertama mereka ketika menyaksikannya? Mereka lari tunggang-langgang dari gedung pertunjukan ketika kereta yang tertampil di film itu “mendekati” mereka. Bagi mereka, film kereta Lumiere saat itu benar-benar menghebohkan!
Singkat cerita, atas karyanya tersebut Lumiere bersaudara kemudian meraup kekayaan. Penonton mereka setelah film kereta api pertama mereka rata-rata tak kurang dari seribu orang. Tapi sebelum mereka sesukses itu, mereka pernah ditolak koran ketika hendak promosi film kereta api pertama mereka. Koran menolak membantu publikasi pemutaran film mereka.
Rupanya, yang pernah ditolak koran bukan hanya para penulis. Sebagai penulis yang karyanya puluhan kali ditolak, kita merenung ketika menjumpai kenyataan ini. Para penulis, pencipta lagu, pelukis, penemu, siapa saja dengan profesi apa saja, rasanya pernah mengalami apa yang Lumiere alami. Kita ditolak. Orang tak yakin dengan apa yang kita yakini sebagai sesuatu yang luar biasa.
Untuk mengurangi penolakan menulis di media cetak, ada beberapa hal yang harus Anda perhatikan. Pertama-tama, kenali tema yang sedang ramai diperbincangkan. Hal ini berlaku untuk esai atau opini. Media massa mengedepankan aktualitas. Tulisan akan susah dimuat bila temanya tidak sesuai dengan apa yang ramai diperbincangkan. Tulisan kita tak mungkin dimuat bila mengangkat pembahasan tentang sampah dimana-mana, padahal sehari-hari orang menyaksikan, membaca, dan mendengar berita tentang sebuah aksi demontrasi.
Cara lain yang berkaitan dengan mengingat momen-momen tertentu. Contoh, tanggal 17 Agustus adalah Hari Kemerdekaan RI . Coba bolak-balik lagi buku sejarah, temukan perspektif yang unik, angkat kiprah seorang tokoh yang mungkin “dilupakan” berkaitan dengan momen itu, lalu buatlah sebuah tulisan. Kirimkan tulisan itu satu atau dua minggu sebelum 17 Agustus. Tulisan yang demikian akan berpeluang besar untuk dimuat.
Kemudian, perhatikan panjang tulisan. Panjang tulisan penting diperhatikan karena berkaitan dengan ruang yang ada di dalam media cetak. Tulisan jangan kepanjangan atau kependekan. Resensi yang sering dibuat rata-rata panjangnya 2 halaman kuarto, 1 spasi, huruf Times New Roman ukuran 12. Atau, bila diukur dengan jumlah kata, resensi itu sekitar 4000-5000 karakter. Beberapa esai atau artikel lain ada yang panjangnya lebih, sampai sekitar 7500 karakter. Cerpen di koran, sepengamatan saya, panjangnya sekitar 10.000 karakter.
Selanjutnya, baca ulang naskah yang Anda tulis. William Faulkner, seorang pemenang Nobel Sastra pernah menyatakan, “Penulis-penulis muda terlalu dungu mengikuti teori. Ajarlah dirimu sendiri melalui kesalahan-kesalahan yang pernah kaulakukan— orang belajar dari kesalahan. Seniman yang baik tidak boleh berharap pada siapa pun yang mungkin dapat memberi nasihat padanya.” Begitu katanya mengapresiasi.
Tidak sedikit penulis yang begitu selesai menulis, langsung mengirim tulisannya ke redaktur atau penerbit. Semangatnya menggebu-gebu, ide dan inspirasi di kepala tidak pernah kering. Tangannya terus menulis segala sesuatu yang memantik gagasan untuk dituangkan dalam kata-kata. Puisi, cerpen, artikel, semua ditulis. Namun, di balik semua itu, salah tulis bertaburan di mana-mana. Inilah yang sering menjadi alasan penolakan tulisan.
Dalam bidang apa pun, kita perlu meninjau ulang apa yang sudah kita kerjakan. Begitu banyak hal yang bisa dikoreksi dan diperbaiki ulang, dan hasilnya mungkin akan jauh lebih baik daripada dikerjakan sekali jadi. Dan, mungkin kita tidak sadar, kebiasaan ini pada akhirnya juga akan membuat kita belajar lebih banyak, yakni belajar menemukan kekurangan diri sendiri.
Lalu, beberapa hal lain yang perlu diperhatikan, sebuah tulisan yang dikirim ke sebuah koran atau majalah perlu diawali dengansurat pengantar. Didalam surat pengantar itu, gambarkan sekilas isi naskah yang ditulis. Menulis untuk koran atau majalah kadang juga menjengkelkan. Menjengkelkan, karena ada koran atau majalah yang tidak membayar honor tulisan kepada penulis. Beberapa penulis pernah mengalami kejadian ini beberapa kali. Oleh karena itu, setiap penulis juga perlu membuat pilihan. Koran atau majalah biasanya mem-blacklist penulis yang berlaku curang. Sudah saatnya penulis juga berani mem-blacklist media cetak yang semena-mena.
Selain itu, sebuah koran memiliki visi tertentu atau kecenderungan tertentu. Ini perlu juga dipahami oleh penulis. Ada sebuah koran yang pro pemerintah sehingga opini yang ditulis di koran itu mayoritas mendukung kebijakan pemerintah. Ada juga sebuah koran yang sampai sekarang tidak mau memuat resensi novel, kumpulan cerpen, atau buku-buku sastrawi lainnya.
Terakhir, sebuah tulisan yang dikirim ke sebuah koran atau majalah semestinya tidak dikirim ke koran atau majalah lain dalam waktu dekat atau malah bersamaan. Sebuah tulisan baru boleh dikirim ke koran atau majalah lain bila “tampaknya” tidak akan dimuat. Karena, di Indonesia masih sangat sedikit koran dan majalah yang memberitahu seorang penulis bila tulisannya akan dimuat.
Karena itulah, setiap penulis sebaiknya memiliki catatan atau arsip atas setiap karya yang dikirimkannya dan kemudian menetapkan sendiri waktu tunggu pemuatan karyanya. Dalam hal ini, waktu tunggu pemuatan tulisan berbeda-beda. Untuk opini, esai, atau artikel yang sifatnya aktual biasanya hanya dua minggu. Untuk resensi bisa satu sampai dua bulan. Untuk cerpen bisa sampai tiga bulan.
Sementara, menulis buku untuk diterbitkan penerbit tidak selalu mudah. Hal itu akan mudah jika Anda memahami apa yang diminati pasar saat ini. Masalah utama yang seringkali muncul dan menjadi ketegangan antara penulis dan editor adalah soal pemasaran buku: seorang penulis sudah menganggap karyanya sangat bagus, tapi bagi seorang editor karya tersebut tidak laku bila dijual.
Sama seperti pengiriman naskah ke koran atau majalah, pengiriman naskah ke penerbit juga perlu disertai surat pengantar. Saat mengajukan naskah ke penerbit, seorang penulis tidak harus sudah siap dengan naskahnya secara keseluruhan. Penulisan naskah buku bisa disiasati dengan menggunakan proposal, dilampiri beberapa contoh bab awal sebuah buku. Pembuatan proposal bertujuan untuk memberikan gambaran kepada editor tentang buku yang tengah digarap.
Namun, jangan sampai sebuah proposal malah membuat Anda menjadi malas merampungkan karya, kemudian mengobral proposal ke sana-sini. Tujuan proposal harus dipahami dengan jelas sebagai langkah awal penulisan sebuah buku. Penulisan buku yang proposalnya telah disetujui harus digarap dengan sungguh-sungguh.Ada editor yang sempat bercerita kalau beberapa penulis menggarap proposalnya sangat baik, tapi begitu naskah utuhnya sampai di meja redaksi, keadaannya memprihatinkan.
Penulis yang menerbitkan buku di penerbit kebanyakan mendapat royalti yang dibayar enam bulan sekali. Besarnya royalti pada umumnya 10 persen harga jual per buku, dikali dengan jumlah buku yang terjual selama enam bulan itu. Namun, memilih penerbit juga tidak boleh sembarangan. Saat ini, penerbitan makin banyak. Tidak sedikit penerbit yang berlaku curang kepada penulis dengan tidak membayarkan royaltinya atau membuat laporan penjualan buku yang merugikan penulis.
Pemasaran buku lewat penerbit memang lebih banyak mendatangkan kemudahan daripada menerbitkan pemasaran buku secara indie. Penerbit, bekerjasama dengan distributor buku, bekerja mengemas dan memasarkan buku setelah naskah seorang penulis dinyatakan layak terbit oleh seorang editor. Seorang penulis bisa bernapas lega mengakhiri tugasnya. Kemudian, mungkin dengan royalti yang diterimanya, ia menggarap proyek menulis selanjutnya.
Menerbitkan buku indie atau self publish juga cukup trend saat ini. Anda juga bisa menerbitkan buku indie. Tidak sedikit penulismencetak dan memasarkan buku yang ditulisnya secara indie. Bahkan pengalaman para penulis itu menyimpulkan pendapatan seorang penulis buku indie lebih besar daripada yang menerima royalti dari penerbit. Sebuah buku bisa dijual dengan harga beberapa kali ongkos cetak buku tersebut.
Seorang penulis buku indie bisa mendapat keuntungan sebanyak tiga kali lipat harga bukunya bila ia sama sekali tak menggunakan jasa distributor. Namun, kendala penerbitan secara indie tidak kecil. Seorang penulis harus memiliki biaya untuk mencetak bukunya sendiri. Harga cetak sebuah buku bisa menjadi murah bilamana buku tersebut dicetak lebih banyak.
Bila seorang penulis sudah memiliki dana yang cukup untuk mencetak buku di atas 500 buah, apa yang harus dilakukannya agar buku tersebut laku terjual? Tidak lucu rasanya kalau buku-buku tersebut pada akhirnya harus dibiarkan menumpuk atau dibagi-bagikan gratis. Belajar dari kegigihan penulis indie, kita harus percaya diri. Bila tidak demikian, memang sulit meyakinkan orang lain bahwa kita menulis sesuatu yang penting. Kita musti memutar otak untuk membuat karya itu bisa diterima seluas-luasnya.
Penulis indie memang harus kuat menjalin jaringan dengan banyak pihak, pintar mengemas bukunya, pandai memanfaatkan berbagai peluang dan momentum untuk menyosialisasikan karya-karyanya. Jalur indie yang ditempuh bukanlah melulu jalur yang ditempuh orang-orang kalah yang butuh pengakuan. Karya-karya indie tidak bisa juga dianggap sebelah mata.
Berani menerbitkan hasil karya sendiri berarti sudah berani mengambil sebuah keputusan. Dengan demikian, Anda telah memposisikan diri sebagai seorang penulis sekaligus pengusaha. Sehingga secara garis besar, Anda punya dua keuntungan, yaitu kepuasan materi dan non materinya adalah Anda akan merasa bangga, sebab telah berhasil mempublikasikan karya Anda sendiri menjadi sebuah buku dan dapat dinikmati banyak orang. Eksistensi Anda sebagai penulis akan segera diakui.
Hal ini jauh berbeda apabila Anda mengirim naskah ke sebuah penerbit. Anda harus menunggu seleksi, kemudian menunggu proses penyuntingan, pracetak sampai proses cetak yang semuanya bisa memakan waktu dari 6 bulan hingga 1 tahunan. Dalam penerbitan indie, Andalah yang memegang semua kendali atas proses penerbitan hasil karya Anda. Sejak awal proses penulisan sampai dengan pendistribusian ke pembaca. Anda akan memotong jalur penerbitan yang ribet dan sangat lama itu. Pakailah jurus dan jalur Anda sendiri.
Proses penerbitan buku pada dasarnya sangat sederhana. Setidaknya ada 5 tahap dalam proses tersebut. Pertama adalah menyediakan naskah. Pada tahap ini, penulis tentu saja harus menulis atau mengumpulkan tulisannya yang terserak di mana-mana. Atau, bisa saja menulis secara keroyokan, antologi puisi misalnya, atau antologi cerpen, dan lain sebagainya.
Tahap kedua, penyuntingan naskah. Tahap ini meliputi pemeriksaan, kurasi, atau beberapa unsur lain untuk mempercantik naskah yang telah jadi. Dalam tahap ini, berlangsung pemeriksaan kesalahan tanda baca oleh seorang "proofreader" (asisten penyunting atau penyunting kedua). Para penulis indie biasa meminta bantuan atau membayar jasa seorang penyunting untuk melakukan hal tersebut.
Tahap ketiga, perencanaan tata letak dan sampul. Di tahap ini, naskah yang sudah siap disusun sedemikian rupa dalam bentuk buku, lalu diberi sampul yang menarik agar calon pembaca tertarik melihat dan membelinya. Tahap keempat, mencetak. Tahap ini sederhana saja, tinggal mencari percetakan dan segera mewujudkan naskah itu menjadi buku.
Setelah buku tersebut sudah siap, pekerjaan berikutnya mendistribusikannya. Kalau secara konvensional, tentu Anda tak harus keliling toko-toko buku untuk menawarkannya. Cukup dengan menggunakan jasa distributor yang akan menyebar seluruh buku tersebut ke toko buku. Indie atau tidaknya buku tidak berpengaruh pada distributor. Terpenting buku Anda mempunyaiInternational Standard Book Number (ISBN). Jika sudah demikian, distributor akan mau membantu menyebarkan buku Anda. Distributor biasanya meminta potongan harga 40 persen hingga 60 persen dari harga jual buku tersebut.
Namun, bagi penulis yang mencetak buku secara indie atau jumlah yang terbatas, jangan kuatir, zaman telah berubah begitu cepat. Telah ada blog, milis, jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Myspace, Friendster, dan lain sebagainya. Anda bisa memanfaatkan layanan ini untuk menjualnya di sana . Anda juga bisa titipkan di komunitas, seperti distro, kafe, kantin, dan tempat alternatif lainnya. Semakin Anda kreatif, makin cepat juga buku Anda terjual. Sederhana bukan? Lalu, apalagi yang Anda tunggu. Tulis dan terbitkan buku Anda!
0 komentar:
Post a Comment